BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu
berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok
baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam
kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang
harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai.
Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap
insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah
makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di
anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana
yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu
mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya
lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu
dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin
dirinya sendiri.
Dengan berjiwa
pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan
baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit.
Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar
masalah dapat terselesaikan dengan baik.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar
belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis
dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Apa pengertian tanggung jawab kepemimpinan?
2. Apakah setiap muslim adalah pemimpin?
3. Bagaimanakah seharusnya menjadi seorang
pemimpin?
4. Sampai mana
batas ketaatan kepada pemimpin?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
Secara bahasa
tanggung jawab atau مسئول adalah merupakan bentuk
maf‘u>l dari kata (يسأل - سألا - سائل
- مسئول - سأل). Kata sa’ala sendiri terambil akar kata yang
terdiri dari huruf-huruf si>n (سين), hamzah (همزة), dan la>m (لام), mengadung makna t}alaba (meminta),
ista‘t}a> (minta pemberian/sedekah), atau istad‘a> (memohon).[1] Dengan demikian, kata mas’u>l diartikan
sebagai orang yang diminta pertanggungjawaban. Bisa juga diartikan sebagai
orang yang ditanya. Misalnya ketika seseorang mengatakan sa’altu zaidan (saya
bertanya kepada Zaid), berarti seseorang tersebut meminta Zaid untuk memberikan
jawaban terhadap pertanyaannya.
Dalam
al-Qur’a>n, kata sa’ala ditemukan dalam berbagai bentuk sebanyak 129 kata.
Tetapi dalam bentuk مسئولا, hanya ditemukan sebanyak 4
kata dan dalam bentuk مسئولون, ditemukan hanya satu kata.[2] Sebagai bukti, terdapat pada QS. al-Isra>’
[33]: 34.
$pkš‰r'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqß™§9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès?
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” [3]
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, tanggung jawab adalah merupakan gabungan dari dua kata yakni
“tanggung” berarti menyangga, memikul, menjamin dan memanggul. Sedang kata
“jawab” berarti memberi jawaban, membalas, menyahut, memenuhi dan menanggapi.
Sehingga—secara terminologi—akan bermakna keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,
yang apabila terjadi sesuatu boleh dituntut, dipesalahkan, diperkarakan dan
sebagainya.[4]
Secara bahasa
pemimpin atau al-ami>r (الامير) berarti penguasa, pemimpin,
komandan atau raja.[5] Menurut Ibnu Fa>ris, kata tersebut berakar
dari huruf-huruf hamzah (همزه), mi>m (ميم) dan ra>’ (راء) yang makna dasar adalah:
al-amru min al-umu>ri (perintah terhadap beberapa urusan), al-amru d}iddu
al-nahyi (perintah; lawan kata dari larangan).[6]
Secara
terminologis, istilah ini merupakan sebutan bagi kepala pemerintahan di daerah,
penguasa militer, atau kepala negara. Di dalam al-Qur’a>n hanya ada istilah u>li>
al-amr[7]
yang juga berarti penguasa. Dalam hadis, istilah amir ditemukan sekitar 40 kali dan umara>’
ditemukan 24 kali.[8]
B.
SETIAP
MUSLIM ADALAH PEMIMPIN
Banyak hadis yang
menjelaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan
dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah tentang kepemimpianannya. Diantara
hadis tersebut adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ
عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
قَالَ فَسَمِعْتُ هَؤُلَاءِ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَحْسِبُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالرَّجُلُ فِي مَالِ أَبِيهِ
رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ.[9]
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abu> al-Yaman telah mengabarkan
kepada kami Syu‘aib dari al-Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Salim
bin ‘Abdulla>h dari ‘Abdulla>h bin ‘Umar rad}iallahu ‘anhuma> bahwa
dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian
adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.
Seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung
jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggung jawaban atas orang yang dipimpinnya. Seorang isteri di
dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dia akan diminta pertanggung
jawaban atas siapa yang dipimpinnya. Seorang pembantu dalam urusan harta
tuannya adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Dia
berkata; “Aku mendengar semuanya ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
aku menduga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Dan seseorang
dalam urusan harta ayahnya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban
atasnya. Maka setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan diminta
pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya .”
Hadis di atas
sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan setiap orang muslim dalam
berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat sampai
tingkatan pemimpin terhadap diri sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung
jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Atas
kepemimpinannya kela di akhirat.
Dengan demikian,
setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan
segala tindakannya tanpa disadari kepentingan pribadi atau kepentingan
kelompok. Pemimpin juga harus berbuat adil dan betul-betul memperhatikan dan
berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, agaknya inilah yang diinginkan dalam
QS. al-Nahl [16]: 90
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ
ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan” [10]
Ayat di atas jelas
sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan di
mana saja. Seseorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya
dan sebijaksana mungkin sesuai perintah Allah swt. Dalam memimpin rakyatnya sehingga
rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya,
apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan
didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin
harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada
timbal balik diantara keduanya.
C.
PEMIMPIN
PELAYAN MASYARAKAT
Dalam pandangan
Islam, seorang pemimpin adalah orang yang yang diberi amanat oleh Allah
swt.untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungan
jawab oleh Allah swt. Sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan
demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari rakyatnya karena
sikap tercelanya (korupsi misalnya), ia tidak akan mampu meloloskan diri dari
tuntunan Allah swt.
Oleh karena itu,
seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang
bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya
ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagi pelayan dan pengayom masyarakat.
Allah berfirman QS. al-Syu‘ara>’ [26]: 215.
ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$#
Terjemahnya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu
orang-orang yang beriman.”[11]
Dalam sebuah hadis
yang diterima dari Siti Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, nabi saw.
pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku
lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi
umatku dan berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.”[12]
Hal ini
menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar
terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab.
Acaman terhadap pemimpin yang zalim juga tergambar dalam hadis:
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ
بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ
لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ
إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ .[13]
Artinya:
“Telah
menceritakan kepada kami Abu> Nu‘aim telah menceritakan kepada kami Abu>
al-Asyhab dari al-H{asan, bahwasanya ‘Abdulla>h bin Ziya>d mengunjungi
Ma‘qil bin Yasa>r ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma‘qil
mengatakan kepadanya; Saya sampaikan hadist kepadamu yang aku dengar dari
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda; “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan,
namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau
surga.”
Menurut M. Quraish
Shihab,[14] dari celah ayat-ayat al-Qur’a>n ditemukan
sedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul
suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut
dapat diperhatikan dalam menentukan seornag pemimpin. Salah satu ayat yang
menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu‘aib yang dibenarkan
dan diabadikan dalam QS. al-Qas}as} [28]: 26.
žcÎ) uŽöyz Ç`tB
|Nöyfø«tGó™$#
‘“Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$#
Artinya:
“Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.”[15]
Begitu
pula al-Qur’a>n mengabadikan alasan pengangkatan Yusu>f sebagai kepala
badan logistik. QS. Yusu>f [12]: 54.
tA$s%
y7¨RÎ) tPöqu‹ø9$#
$uZ÷ƒt$s! îûüÅ3tB
×ûüÏBr&
Artinya:
“Sesungguhnya
kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai
pada sisi kami”.[16]
Pemimpin
yang memiliki dua sifat tersebut, sangat kecil kemungkinan untuk berbuat zalim.
Ia selalu berbuat dan bertindak sesuai dengan aspirasi rakyat.
D.
BATAS
KETAATAN KEPADA PEMIMPIN
Dalam kehidupan
nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan
guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula untuk
menggapai cita-cita tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap
perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.[17]
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami
Yah}ya dan ‘Ubaidulla>h, telah menceritakan kepadaku Nafi‘, dari
‘Abdulla>h dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau
bersabda: “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan mentaati dalam perkara
yang ia senangi maupun ia benci, selama ia tidak diperintahkan untuk
bermaksiat. Apabila ia diperintakan untuk bermaksiat, maka tidak boleh
mendengar dan mentaati.”
Kedudukan seorang
pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam sehingga ketaatan kepada mereka pun
disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, sebagaimana firman-Nya
QS. al-Nisa>’ [4]: 59
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$#
(#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$#
’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB
(
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu.” [18]
Namun demikian,
menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah hilang kata اطيعوا pada perintah menaati
uli> al-amri menunjukkan bahwa pemimpin—dalam hal-hal tertentu bisa tidak di
patuhi apabila ia memerintahkan untuk melakukan perbuatan tercela.[19]
Selain itu, dalam
hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah memerintahkan seorang bekas
budak menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut menuruti
perintah itu. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram. Nabi
kemudian menjelaskan kepadanya bahwa hal tersebut tidak masalah. Sikap bekas
budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun
kepada Rasululla saw. kalau ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk
melakukan maksiat.
Berdasarkan hadits
di atas Nabi Muhammad saw berpesan agar setiap muslim hendaknya mendengar dan
mematuhi keputusan, kebijakan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh
para pemimpin, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan bagi dirinya.
Selama peraturan tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah dan
Rosul-Nya.
Sebab kunci dari
keberhasilan suatu negara atau organisasi diantaranya terletak pada ketaatan
para warga atau pengikutnya dan pemimpinnya kepada Allah.
Dan apabila kaum
muslimin tidak mau mendengar dan tidak mau mematuhi serta tidak memiliki rasa
tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di Negara atupun di
organisasi tempat ia tinggal, maka kehancuranlah yang akan terjadi dan
sekaligus menjadi bencana bagi umat islam.
Seyogyannya, bila
pemimpin memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah dan
Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mentaati perintahnya. Kepatuhan terhadap
pemimpin mempunyai batasan tertentu yakni selama memimpin dan mengarahkan
kepada hal-hal yang positif dan tidak menuju ke jalan kemaksiatan maka kita
wajib mematuhi perintahnya, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pemimpin itu
melarang wanita muslim mengenakan jilbab; pemimpin yang menyuruh untuk
melakukan perjudian dan masih banyak contoh yang lain.
Dan apabila kita
melihat penyelewengan-penyelewengan pemimpin yang demikian, maka kita harus
mengambil sikap seperti sabda Rosulullah saw. berikut ini :
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم
يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان[20]
Artinya :
“Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya
(memperingatkannya) dengan tangan, jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya,
jika tidakmampu hendaklah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah
selemah-lemah iman.”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di
atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Secara terminology, tanggung jawab adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, yang apabila terjadi sesuatu boleh
dituntut, dipesalahkan, diperkarakan dan sebagainya.
2.
Semua orang adalah pemimpin (pemelihara) dan
akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kepemimpinannya, baik pemimpin
negara, pemimpin keluarga, pemimpin rumah suami dan anak-anak, pengembala, dan
siapa saja yang memilki tanggung jawab, termasuk pemimpin atas dirinya sendiri.
Yang semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
3.
Kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di
akhirat merupakan jaminan bagi para pemimpin yang adil dan sebaliknya
kesengsaraan dan siksaan yang pedih bagi para pemimpin yang tidak adil.
4.
Setiap pemimpin haruslah menjadi pelayan yang
baik bagi yang dipimpinnya, dan mengutamakan kebahagiaan dan kesejahteraan yang
dipimpinnya.
5.
Umat Islam diharuskan menaati para
pemimpinnya, baik terhadap aturan-aturan yang disetujuinya ataupun tidak,
sejauh pemimpin tersebut tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan (dosa).
B. IMPLIKASI
Sebagai
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis
hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak,
termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan
pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh
dari standar kesempurnaan layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah
kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali—paling tidak
memeriksa referensi yang digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian
tersebut dapat lebih valid.
Demikianlah
apa yang mampu penulis tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja
keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana
kuantitas penafsiran Rasulullah saw. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu
bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di
sisi Allah swt. Min Alla>h al-Musta’a>n wa Ilaihi al-Tikla>n.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Afrīqiy, Muh{ammad bin Mukrim bin Manz}u>r. Lisān al-‘Arab, Juz. XI Cet. I;
Beirut: Dār S}ādir, t. th.
Azdi>, Sulaiman bin al-Asy‘as\ Abu>
Da>ud al-Sajista>n. Sunan Abu> Da>ud. Jilid. II. Beiru>t;
Da>r al-Fikr, t.th.
Azra,
Azyumardi dkk. Ensiklopedi Islam Edisi Baru; Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005.
Al-Ba>qiy,
Muh}ammad Fu’ad ‘Abd. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n.
Indonesia: Maktabah Dah}la>n, t.th.
Al-Bukha>ri>, Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu>
‘Abdilla>h. S}ah}i>h al-Bukha>ri> Jilid II Beirut: Da>r Ibnu Kas\ir al-Yama>mah, 1987.
Dasuki,
Hafizh dkk. Ensiklopedi Islam Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1994.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Bandung: PT. Syaamil Cipta Media,
1426 H/ 2005 M.
Ibnu
Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris. Mu‘jam
Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M.
Al-Khat}i>b, Muh}ammad. ‘Ajja>j Us}u>l
al-H{adi>s\: ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alahu>, Beirut: Da>r
al-Fikr, 1409 H/ 1989 M.
al-Naisa>bu>ri>, Muslim ibn
al-H{ajja>j Abu al-H{usain al-Qusyairi>. Shah}i>h} Muslim, Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-Araby>. t.th.
Qodratillah,
Meity Taqdir dkk. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Shihab, M. Quraish dkk. Ensiklopedia Al-Qur’an:
Kajian Kosakata. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
_______M.
Quraish. Lentera Hati Bandung: Mizan, 1994).
Syafe’i, Rachmat. Al-Hadis; Aqidah, Akhlaq, Sosial,
dan Hukum Ed. Rev; Bandung: Pustaka
Setia, t.th.
Warson, Ahmad. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
Terlengkap. Cet. XIV; Jakarta: 1997.
[1]Muh{ammad
bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afrīqiy Lisān al-‘Arab, Juz. XI (Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.), h.
318. Selanjutnya dikenal dengan nama Ibnu Manz}u>r. Lihat juga. M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. (Cet.
I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 851. Dan selanjutnya lihat Ahmad
Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. (Cet. XIV;
Jakarta: 1997), hal. 600-601.
[2]Muh}ammad Fu’ad ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-Qur’a>n. (Indonesia: Maktabah Dah}la>n, t.th.), hal.
427-429.
[3]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT.
Syaamil Cipta Media, 1426 H/ 2005 M), hal. 285.
[4]Meity Taqdir Qodratillah dkk, Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 1299.
[5]Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam (Edisi Baru; Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hal. 173. Demikian juga lihat Hafizh Dasuki dkk,
Ensiklopedi Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal
138.
[6]Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Mu‘jam
Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M),
hal. 141.
[7]Lihat misalnya terdapat pada QS. al-Nisa>’ [4]: 59 dan 83.
[8]Azyumardi Azra dkk, op. cit. hal. 173. Dan Hafizh Dasuki dkk, op.
cit. hal 138.
[9]Muh}ammad
bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri>, S}ah}i>h al-Bukha>ri>
Jilid II (Beirut: Da>r Ibnu Kas\ir al-Yama>mah, 1987),
hal. 848.
[10]Departemen Agama RI, op. cit. hal. 277.
[12]Penulis belum menemukan teks Arab hadis ini, namun teks ini penulis
temukan di: Rachmat Syafe’i, Al-Hadis; Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum (Ed. Rev; Bandung: Pustaka Setia, t.th.), hal. 140.
[14]M. Quraish Shihab, Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994), 387-388.
[15]Departemen Agama RI, op. cit. hal. 388.
[17]Sulaiman
bin al-Asy‘as\ Abu> Da>ud al-Sajista>n al-Azdi>, Sunan Abu>
Da>ud. Jilid. II. (Beiru>t; Da>r al-Fikr, t.th.), hal. 47.
Selanjutnya disebut Abu> Da>ud.
[18]Departemen Agama RI, op. cit. hal. 87.
[19]Muh}ammad Al-Khat}i>b. ‘Ajja>j Us}u>l al-H{adi>s\:
‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alahu>, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1409 H/ 1989
M), hal 35-36.
[20]Muslim ibn al-H{ajja>j Abu al-H{usain al-Qusyairi>
al-Naisa>bu>ri.> Shah}i>h} Muslim, Juz 1. (Beirut: Da>r
Ihya>’ al-Tura>ts al-Araby>. t.th.) hal. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar