Rabu, 17 April 2013

Tanggung Jawab Kepemimpinan dalam persfektif hadis



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.
B.    RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain:
1.  Apa pengertian tanggung jawab kepemimpinan?
2.  Apakah setiap muslim adalah pemimpin?
3.  Bagaimanakah seharusnya menjadi seorang pemimpin?
4. Sampai mana batas ketaatan kepada pemimpin?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
Secara bahasa tanggung jawab atau مسئول adalah merupakan bentuk maf‘u>l dari kata (يسأل - سألا - سائل - مسئول -  سأل). Kata sa’ala sendiri terambil akar kata yang terdiri dari huruf-huruf si>n (سين), hamzah (همزة), dan la>m (لام), mengadung makna t}alaba (meminta), ista‘t}a> (minta pemberian/sedekah), atau istad‘a> (memohon).[1]  Dengan demikian, kata mas’u>l diartikan sebagai orang yang diminta pertanggungjawaban. Bisa juga diartikan sebagai orang yang ditanya. Misalnya ketika seseorang mengatakan sa’altu zaidan (saya bertanya kepada Zaid), berarti seseorang tersebut meminta Zaid untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaannya.
Dalam al-Qur’a>n, kata sa’ala ditemukan dalam berbagai bentuk sebanyak 129 kata. Tetapi dalam bentuk مسئولا, hanya ditemukan sebanyak 4 kata dan dalam bentuk مسئولون, ditemukan hanya satu kata.[2]  Sebagai bukti, terdapat pada QS. al-Isra>’ [33]: 34.
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès?
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” [3]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah merupakan gabungan dari dua kata yakni “tanggung” berarti menyangga, memikul, menjamin dan memanggul. Sedang kata “jawab” berarti memberi jawaban, membalas, menyahut, memenuhi dan menanggapi. Sehingga—secara terminologi—akan bermakna keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, yang apabila terjadi sesuatu boleh dituntut, dipesalahkan, diperkarakan dan sebagainya.[4]
Secara bahasa pemimpin atau al-ami>r (الامير) berarti penguasa, pemimpin, komandan atau raja.[5]  Menurut Ibnu Fa>ris, kata tersebut berakar dari huruf-huruf hamzah (همزه), mi>m (ميم) dan ra>’ (راء) yang makna dasar adalah: al-amru min al-umu>ri (perintah terhadap beberapa urusan), al-amru d}iddu al-nahyi (perintah; lawan kata dari larangan).[6]
Secara terminologis, istilah ini merupakan sebutan bagi kepala pemerintahan di daerah, penguasa militer, atau kepala negara. Di dalam al-Qur’a>n hanya ada istilah u>li> al-amr[7] yang juga berarti penguasa. Dalam hadis, istilah amir  ditemukan sekitar 40 kali dan umara>’ ditemukan 24 kali.[8]
B.       SETIAP MUSLIM ADALAH PEMIMPIN
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah tentang kepemimpianannya. Diantara hadis tersebut adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ فَسَمِعْتُ هَؤُلَاءِ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَحْسِبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالرَّجُلُ فِي مَالِ أَبِيهِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.[9]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu> al-Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu‘aib dari al-Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Salim bin ‘Abdulla>h dari ‘Abdulla>h bin ‘Umar rad}iallahu ‘anhuma> bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas orang yang dipimpinnya. Seorang isteri di dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dia akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya. Seorang pembantu dalam urusan harta tuannya adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Dia berkata; “Aku mendengar semuanya ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku menduga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Dan seseorang dalam urusan harta ayahnya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Maka setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya .”
Hadis di atas sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan setiap orang muslim dalam berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat sampai tingkatan pemimpin terhadap diri sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Atas kepemimpinannya kela di akhirat.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa disadari kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok. Pemimpin juga harus berbuat adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, agaknya inilah yang diinginkan dalam QS. al-Nahl [16]: 90
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan” [10]                     
Ayat di atas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan di mana saja. Seseorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai perintah Allah swt. Dalam memimpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
C.    PEMIMPIN PELAYAN MASYARAKAT
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang yang diberi amanat oleh Allah swt.untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah swt. Sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari rakyatnya karena sikap tercelanya (korupsi misalnya), ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntunan Allah swt.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya ia harus berusaha memosisikan dirinya sebagi pelayan dan pengayom masyarakat. Allah berfirman QS. al-Syu‘ara>’ [26]: 215.
ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$#
            Terjemahnya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.”[11]
Dalam sebuah hadis yang diterima dari Siti Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, nabi saw. pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.”[12]
Hal ini menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Acaman terhadap pemimpin yang zalim juga tergambar dalam hadis:
            حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ .[13]
            Artinya:
            “Telah menceritakan kepada kami Abu> Nu‘aim telah menceritakan kepada kami Abu> al-Asyhab dari al-H{asan, bahwasanya ‘Abdulla>h bin Ziya>d mengunjungi Ma‘qil bin Yasa>r ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma‘qil mengatakan kepadanya; Saya sampaikan hadist kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga.”
Menurut M. Quraish Shihab,[14]  dari celah ayat-ayat al-Qur’a>n ditemukan sedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut dapat diperhatikan dalam menentukan seornag pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu‘aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam QS. al-Qas}as} [28]: 26.
žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# 
            Artinya:
            “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”[15]
            Begitu pula al-Qur’a>n mengabadikan alasan pengangkatan Yusu>f sebagai kepala badan logistik. QS. Yusu>f [12]: 54.
tA$s% y7¨RÎ) tPöquø9$# $uZ÷ƒt$s! îûüÅ3tB ×ûüÏBr& 
            Artinya:
            “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”.[16]
            Pemimpin yang memiliki dua sifat tersebut, sangat kecil kemungkinan untuk berbuat zalim. Ia selalu berbuat dan bertindak sesuai dengan aspirasi rakyat.
D.    BATAS KETAATAN KEPADA PEMIMPIN
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula untuk menggapai cita-cita tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.[17]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yah}ya dan ‘Ubaidulla>h, telah menceritakan kepadaku Nafi‘, dari ‘Abdulla>h dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan mentaati dalam perkara yang ia senangi maupun ia benci, selama ia tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila ia diperintakan untuk bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan mentaati.”
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, sebagaimana firman-Nya QS. al-Nisa>’ [4]: 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [18]
Namun demikian, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah hilang kata اطيعوا pada perintah menaati uli> al-amri menunjukkan bahwa pemimpin—dalam hal-hal tertentu bisa tidak di patuhi apabila ia memerintahkan untuk melakukan perbuatan tercela.[19]
Selain itu, dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah memerintahkan seorang bekas budak menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut menuruti perintah itu. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa hal tersebut tidak masalah. Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasululla saw. kalau ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk melakukan maksiat.
Berdasarkan hadits di atas Nabi Muhammad saw berpesan agar setiap muslim hendaknya mendengar dan mematuhi keputusan, kebijakan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh para pemimpin, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan bagi dirinya. Selama peraturan tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rosul-Nya.
Sebab kunci dari keberhasilan suatu negara atau organisasi diantaranya terletak pada ketaatan para warga atau pengikutnya dan pemimpinnya kepada Allah.
Dan apabila kaum muslimin tidak mau mendengar dan tidak mau mematuhi serta tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di Negara atupun di organisasi tempat ia tinggal, maka kehancuranlah yang akan terjadi dan sekaligus menjadi bencana bagi umat islam.
Seyogyannya, bila pemimpin memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah dan Rosul-Nya, maka kita tidak boleh mentaati perintahnya. Kepatuhan terhadap pemimpin mempunyai batasan tertentu yakni selama memimpin dan mengarahkan kepada hal-hal yang positif dan tidak menuju ke jalan kemaksiatan maka kita wajib mematuhi perintahnya, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pemimpin itu melarang wanita muslim mengenakan jilbab; pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian dan masih banyak contoh yang lain.
Dan apabila kita melihat penyelewengan-penyelewengan pemimpin yang demikian, maka kita harus mengambil sikap seperti sabda Rosulullah saw. berikut ini :
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان[20]
Artinya :
Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya (memperingatkannya) dengan tangan, jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya, jika tidakmampu hendaklah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.         Secara terminology, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, yang apabila terjadi sesuatu boleh dituntut, dipesalahkan, diperkarakan dan sebagainya.
2.         Semua orang adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap kepemimpinannya, baik pemimpin negara, pemimpin keluarga, pemimpin rumah suami dan anak-anak, pengembala, dan siapa saja yang memilki tanggung jawab, termasuk pemimpin atas dirinya sendiri. Yang semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
3.         Kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat merupakan jaminan bagi para pemimpin yang adil dan sebaliknya kesengsaraan dan siksaan yang pedih bagi para pemimpin yang tidak adil.
4.         Setiap pemimpin haruslah menjadi pelayan yang baik bagi yang dipimpinnya, dan mengutamakan kebahagiaan dan kesejahteraan yang dipimpinnya.
5.         Umat Islam diharuskan menaati para pemimpinnya, baik terhadap aturan-aturan yang disetujuinya ataupun tidak, sejauh pemimpin tersebut tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan (dosa).
B.    IMPLIKASI
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari standar kesempurnaan layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali—paling tidak memeriksa referensi yang digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Demikianlah apa yang mampu penulis tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana kuantitas penafsiran Rasulullah saw. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah swt. Min Alla>h al-Musta’a>n wa Ilaihi al-Tikla>n.
























DAFTAR PUSTAKA
Al-Afrīqiy, Muh{ammad bin Mukrim bin Manz}u>r. Lisān al-‘Arab, Juz. XI Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.
Azdi>, Sulaiman bin al-Asy‘as\ Abu> Da>ud al-Sajista>n. Sunan Abu> Da>ud. Jilid. II. Beiru>t; Da>r al-Fikr, t.th.
Azra, Azyumardi dkk. Ensiklopedi Islam Edisi Baru; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
Al-Ba>qiy, Muh}ammad Fu’ad ‘Abd. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n. Indonesia: Maktabah Dah}la>n, t.th.
Al-Bukha>ri>, Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdilla>h. S}ah}i>h al-Bukha>ri> Jilid II Beirut: Da>r Ibnu Kas\ir al-Yama>mah, 1987.
Dasuki, Hafizh dkk. Ensiklopedi Islam Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 1426 H/ 2005 M.
Ibnu Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M.
Al-Khat}i>b, Muh}ammad. ‘Ajja>j Us}u>l al-H{adi>s\: ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alahu>, Beirut: Da>r al-Fikr, 1409 H/ 1989 M.
al-Naisa>bu>ri>, Muslim ibn al-H{ajja>j Abu al-H{usain al-Qusyairi>. Shah}i>h} Muslim, Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-Araby>. t.th.
Qodratillah, Meity Taqdir dkk. Kamus Bahasa Indonesia.  Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Shihab, M. Quraish dkk. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
_______M. Quraish. Lentera Hati Bandung: Mizan, 1994).
Syafe’i, Rachmat. Al-Hadis; Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum  Ed. Rev; Bandung: Pustaka Setia, t.th.
Warson, Ahmad. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. XIV; Jakarta: 1997.


[1]Muh{ammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afrīqiy Lisān al-‘Arab, Juz. XI (Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.), h. 318. Selanjutnya dikenal dengan nama Ibnu Manz}u>r. Lihat juga. M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 851. Dan selanjutnya lihat Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. (Cet. XIV; Jakarta: 1997), hal. 600-601.

[2]Muh}ammad Fu’ad ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n. (Indonesia: Maktabah Dah}la>n, t.th.), hal. 427-429.
[3]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 1426 H/ 2005 M), hal. 285.
[4]Meity Taqdir Qodratillah dkk, Kamus Bahasa Indonesia.  (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 1299.
[5]Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam (Edisi Baru; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hal. 173. Demikian juga lihat Hafizh Dasuki dkk, Ensiklopedi Islam (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal 138.
[6]Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), hal. 141.
[7]Lihat misalnya terdapat pada QS. al-Nisa>’ [4]: 59 dan 83.
[8]Azyumardi Azra dkk, op. cit. hal. 173. Dan Hafizh Dasuki dkk, op. cit. hal 138.
[9]Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri>, S}ah}i>h al-Bukha>ri> Jilid II (Beirut: Da>r Ibnu Kas\ir al-Yama>mah, 1987), hal. 848.
[10]Departemen Agama RI, op. cit. hal. 277.
[11]Ibid. hal. 376.
[12]Penulis belum menemukan teks Arab hadis ini, namun teks ini penulis temukan di: Rachmat Syafe’i, Al-Hadis; Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum  (Ed. Rev; Bandung: Pustaka Setia, t.th.), hal. 140.
[13]Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>riy, op. cit. juz VI hal. 2614.
[14]M. Quraish Shihab, Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994), 387-388.
[15]Departemen Agama RI, op. cit. hal. 388.
[16]Ibid. hal. 242.
[17]Sulaiman bin al-Asy‘as\ Abu> Da>ud al-Sajista>n al-Azdi>, Sunan Abu> Da>ud. Jilid. II. (Beiru>t; Da>r al-Fikr, t.th.), hal. 47. Selanjutnya disebut Abu> Da>ud.
[18]Departemen Agama RI, op. cit. hal. 87.
[19]Muh}ammad Al-Khat}i>b. ‘Ajja>j Us}u>l al-H{adi>s\: ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}alahu>, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), hal 35-36.
[20]Muslim ibn al-H{ajja>j Abu al-H{usain al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri.> Shah}i>h} Muslim, Juz 1. (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>ts al-Araby>. t.th.) hal. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar