BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu, menempati posisi
sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman,
tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an,
melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi
maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan
perkembangan serta corak pemikiran mereka.[1]
Pada masa Nabi saw., para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya
mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
semacam ‘Ali> ibn Abi> Tha>lib, Ibn ‘Abba>s, Ubay ibn
Ka‘ab dan Ibn Mas‘u>d.
Para sahabat dalam memahami al-Qur’a>n dan
mengetahui tafsir al-Qur’a>n berbeda tingkat pemahamannya dan menafsirkannya
karena mereka tidak semuanya mempunyai nalar yang cukup untuk memahami
al-Qur’a>n, dan di antara mereka adalah yang luas ilmunya tentang
kesusatraan dan ada pula yang tidak, ada yang selalu bersama Rasulullah
sehingga mengetahui sebab turunnya ayat, ada pula yang tidak bersama
rasulullah.[2]
Dengan demikian tidaklah menutup kemungkinan
adanya karakter tersendiri pada masa sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis akan bermkasud
menjelaskan sebagai berikut:
a.
Siapa saja ahli
tafsir di zaman sahabat?
b.
Bagaimana
karakteristik tafsir sahabat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Para Ahli
Tafsir Di Zaman Sahabat\
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’a, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau
dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi
dan Nasra>ni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara
tokoh mufassir pada masa sahabat adalah:
1. Sahabat Abdullah ibn Abbas r.a.. tafsir yang
diriwayatkan dari beliau yang paling shah}ih dan dapat dipercaya, ialah yang diriwayatkan
dengan jalan Ali ibn Abi Thalhah. Yang biasa diambil atau dikutip oleh Al-Bukha>ri
dalam kitab tafsirnya, dan oleh At-Thabari dalam kitab tafsirnya, dan oleh para
Imam ahli Tafsir yang mu’tabar. Tafsir Ibnu Abbas yang diriwayatkan dengan
jalan Ibnu Juraij dan Mujahid, yang biasa dikutip oleh Al-Bukhari dan Muslim
dalam kitab shahihnya.
2. Ali bin Abi Thalib. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau, yang dapat
dipercaya karena banyak benarnya, ialah yang diriwayatkan oleh Wahbin dari Ibnu
Thufail.
3. Abdullah bin Mas’ud r.a. tafsir yang shahih dari beliau adalah yang
diriwayatkan oleh imam At Thabari dalam kitab tafsirnya. Dan tafsir dari beliau
ini sesungguhnya lebih banyak dari pada tafsir Ali bin Abi Thalib.
4. Ubai ibn Ka’ab ibn Qais
al-Anshari al-Khazraji. Ia adalah salah seorang penulis wahyu, ia juga tuan
para qari‘ (sayyid al-qurra ). Rasulullah saw., bersabda mengenainya:
“Yang paling ahli qira‘ah di antara kalian adalah Ubai. “Rasulullah
saw., juga membacakan al-qur’an kepadanya. Beliau memerintahkan agar sahabat
belajar al-Qur’an darinya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas.
Ia
juga termasuk sahabat yang paling tahu tentang Kitabullah. Hal itu karena
sebelum masuk Islam ia adalah salah seorang pendeta Yahudi yang memahami betul
kitab-kitab terdahulu dan apa yang terkadung di dalamnya. Ketika ia bergabung
dengan kelompok penulius wahyu, maka ilmunya semakin bertambah. Sinarnya semakin
terang. Ia sangat terkait erat dengan tempat-tempat turunnya wahyu, nasikh
dan mansukh, sebab nuzul, muhkam dan mutasyabih,
ururtan ayat dan lain-lain.[3]
5. Dan lain-lainnya dari antara para sahabat Nabi yang ahli tentang tafsir
Al-Qur’an seperti Abu Bakar as Shiddieq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Abu Musa Al- Asy’ari, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair.[4]
Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan Khulafa ialah : ‘Ali
ibn Abi Thalib. Dan yang paling banyak diterima tafsirnya dari bukan kalangan
Khulafa, ialah : Ibn ‘Abba>s, ‘Abdulla>h ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka‘ab.
Ke-empat mufassir Shah{abi>y ini mempunyai ilmu dan
pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab. Mereka hidup bersama Rasulullah saw.,
yang memungkinkan mereka mengetahui kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa nuzu>l
al-Qura>n dan tidak pula merasa keberatan menafsirkan al-Quran dengan
ijtihad.
Ibnu ‘Abbas memiliki banyak pengetahuan dalam hal tafsir, dikarenakan
beliau lama hidup bersama sahabat-sahabat besar, walaupun beliau tidak lama
hidup dengan Rasulullah saw.
Demikian pula ‘Ali. Beliau hidup lebih lama dibandingkan
khalifah-khalifah lainnya yang hidup dimasa ketika ummat Islam benar-benar
membutuhkan para ahli yang dapat menafsirkan al-Quran.
Juga banyak diterima riwayat dari Ibnu Mas‘ud. Demikian pula banyak
diterima riwayat dari Ubay Ibn Ka‘ab al-Anshari>y, salah seorang penulis
wahyu.
Jika nama ke-empat sahabat ini diurut berdasarkan banyak
sedikitnya riwayat tafsir yang diterima dari beliau-beliau itu, maka yang
pertama, ialah: Ibnu ‘Abbas, kemudian Ibnu Mas‘ud , kemudian ‘Ali ibn Abi>
Tha>lib , dan yang terakhir adalah Ubay ibn Ka‘ab al-Anshary.
Adapun Zaid ibn S{a>bit, Abu> Mu>sa al-Asy‘ry dan ‘Abdullah
ibn al-Zuvair, maka kedudukan ini mereka
berada dibawah ke-empat sahabat yang tersebut di atas.
Di antara para sahabat yang terkenal juga dalam bidang ilmu tafsir,
walaupun tidak banyak, ialah: Anas ibn Ma>lik, Abu> Huirairah, Ibnu
‘Umar, Ja>bir, ‘Amr ibn al-‘Ash dan ‘Aisyah al-Shiddi>qiyah.
Sifat tafsir pada masa pertama , ialah: sekedar menerangkan makna dari
segi bahasa dengan keterangan-keterangan ringkas , belum dilakukan istinbath
hukum-hukum fiqih.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama
dengan hadist marfu’.[5]
Atau paling kurang adalah Mauquf.[6]
B. Karakteristik
Tafsir Sahabat
Berikut beberapa poin yang berkaitan dengan karakteristik tafsir
sahabat:
a. Masih
sedikit unsur Israiliyya>t
yang dimasukkan kedalam tafsir. Karena pada masa itu sahabat sangat teliti
dalam mengambil cerita-cerita ahlul kitab dalam hal ini Israilyya>t.
Kemudian masa sahabat dengan nabi tidak jauh, sehingga kecil kemungkinan
menggunakan Israiliyya>t sebagai sumber Penafsiran.
b. Mereka tidak
menafsirkan al-Quran secara menyeluruh. Karena sebagian besar ayat al-Quran nampak
sangat jelas bagi mereka karena mendalamnya pemahaman mereka akan bahasa
al-Quran. Dan mereka juga menyadari bahwa keadaan masyarakat pada saat itu yang
belum begitu membutuhkan tafsir. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang
sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan
ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa
Nabi dan Sahabat.
c. Belum adanya
kodifikasi atau pembukuan terhadap tafsir. Dalam periode ini (masa Nabi dan
sahabat) tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru
dilakukan pada abad ke-dua. Disamping itu tafsir hanya merupakan cabang dari
hadis, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara
bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan
sesuai sistematikan ayat-ayat al-Quran dan surah-surahnya disamping juga tidak
mencakup keseluruhannya. Juga karena yang mendominasi pada saat itu ialah
dengan cara riwayat atau menerima secara lisan. Salah satu sahabat yang menulis
tafsir pada saat itu adalah ‘Abdulla>h ibn ‘Amru> ibn ‘A<sh.[7]
d. Masih sedikit
perselisihan atau perbedaan diantara mereka dalam memahami makna suatu ayat.
Karena kurangnya penafsiran dari mereka, sehingga kurangnya perbedaan.
e. Sebagian besar
dari mereka hanya memahami dengan makna ijma>li atau global, tidak
dengan makna tafsi>li atau rinci, seperti QS.‘Abasa [80] 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا yang artinya “ dan buah-buahan serta rumput-rumputan”, sahabat memahami ayat tersebut hanya
sebatas “penghitungan nikimat-nikmat Allah kepada hamba-Nya”.
Kata ( أبا
) abban dipahami oleh banyak ulama dalam arti rerumputan. Diriwayatkan
bahwa Sayyidina> Abu> Bakar ra. Ditanyai tentang makna kata ini, lalu
beliau menjawab: “ Langit tempat aku berlindung, bumi apa tempat aku berpijak,
kalau aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak kuketahui”.
Ucapan serupa dekemukakan oleh ‘Umar ibn al-Khaththa>b ketika beliau membaca
ayat-ayat di atas. Beliau berkata; “Semua ini telah diketahui, tetapi apakah abban
itu?” Lalu, mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata; “Inilah (yakni
upaya mencari apa yang tidak dapat diketahui) yang merupakan pemaksaan. Tidak
ada celaan bagimu, wahai putra Ibu ‘Umar, (maksud beliau dirinya sendiri ) jika
tidak mengetahui apakah abban itu. “Lalu, beliau mengarah kepada siapa
yang di sekelilingnya seraya berkata: “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu
dari yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah, dan apa yang kamu
tidak ketahui, serahkanlah kepada Tuhan”.[8]
Salah satu makna yang
ingin di tekankan oleh Sayyidina> ‘Umar ra. Dengan ucapannya itu adalah
tidak menafsirkan al-Qur’an secara spekulatif. Kita tidak harus menafsirkan apa
yang yang kita tidak ketahui. Kita hendaknya menyerahkan kepada generasi
berikut, boleh jadi mereka dapat menjelaskannya lebih baik dan alngkah
banyaknya ucapan Allah---yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang lalu---yang
ternyata dapat dijeskan kembali dengan memuaskan oleh ulama generasi sesudah
mereka.[9]
Kata atau redaksi yang tidak jelas maknanya
dapat ditarik. Yang terpenting adalah menarik makna umum yang dikandungnya.
Ayat di atas, walau tidak jelas makna salah satu kata-katanya oleh sementara
sahabat Nabi saw., mereka dapat menarik kesimpulan dari keseluruhan
ayat-ayatnya bahwa Allah melimpahkan kepada manusia dan hewan nikmat-Nya, yang
antara lain adalah nikmat pangan, dan itu haruslah disyukuri.[10]
f.
Menjelaskan makna Lugawi dengan lafadz yang
singkat. Seperti ayat غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِإِثْمٍ yang ditafsirkan dengan lafadz غير
متعرض لمعصية.
g. Masih langka
atau jarangnya dilakukan istinbat hukum fiqih dari ayat-ayat al-Quran. Dan
belum ada usaha untuk menguatkan madzhab-madzhab tertentu dengan ayat-ayat
al-Quran karena belum munculnya maadzhab-madzhab pada saat itu, dikarenakan
mereka masih bersatu atau tidak berbeda dalam hal aqidah.
h. Tafsir masih
berformat hadis. Artinya; hadis-hadis yang berkaitan dengan tafsir belum
dipisahkan dari hadis-hadis selain tafsir.[11]
BAB III\
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mufassir yang
terkenal dimasa sahabat diantaranya: Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud , ‘Ali ibn
Abi> Tha>lib , dan yang terakhir adalah Ubay ibn Ka‘ab al-Anshary.
2. Di antara para
sahabat yang terkenal juga dalam bidang ilmu tafsir, walaupun tidak banyak,
ialah: Anas ibn Ma>lik, Abu> Huirairah, Ibnu ‘Umar, Ja>bir, ‘Amr ibn
al-‘Ash dan ‘Aisyah al-Shiddi>qiyah.
3. Yang paling
banyak diterima tafsirnya dari kalangan Khulafa ialah : ‘Ali ibn Abi Thalib.
Dan yang paling banyak diterima tafsirnya dari bukan kalangan Khulafa, ialah :
Ibn ‘Abba>s, ‘Abdulla>h ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka‘ab.
4. Mereka tidak
menafsirkan al-Quran secara menyeluruh. Karena sebagian besar ayat al-Quran
nampak sangat jelas bagi mereka karena mendalamnya pemahaman mereka akan bahasa
al-Quran. Dan Mereka belum begitu agresif dalam menafsirkan al-Quran. Sehingga
ketika mereka menafsirkan al-Quran, mereka hanya menjelaskan makna global.
5. Sahabat belum
terlalu gemar menulis tafsir karena yang mendominasi pada saat itu ialah dengan
cara riwayat atau menerima secara lisan. Kemudian kesulitan ini semakin
meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan
Sahabat. Masih sedikit perselisihan atau perbedaan diantara mereka dalam
memahami makna suatu ayat.Sebagian besar dari mereka hanya memahami dengan
makna ijma>li atau global. Menjelaskan makna Lugawi dengan lafadz
yang singkat. Seperti ayat غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِإِثْمٍ yang ditafsirkan dengan lafadz غير
متعرض لمعصية.Masih langka atau jarangnya dilakukan istinbat
hukum fiqih dari ayat-ayat al-Quran. Belum adanya kodifikasi atau pembukuan
terhadap tafsir.Tafsir masih bercampur baur dengan dengan hadis.
B. IMPLIKASI
Sebagai manusia biasa
yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya
mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk
dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan
penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari standar
kesempurnaan layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika
ada pihak yang berusaha meneliti kembali—paling tidak memeriksa referensi yang
digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Demikianlah apa yang
mampu penulis tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja keras
penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana karakteristik tafsir sahabat. Semoga dengan
tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala
yang berlipat ganda di sisi Allah swt. Min Alla>h al-Musta’a>n wa
Ilaihi al-Tikla>n.
DAFTAR PUSTAKA
Abidu,Yunus Hasan. Tafsir al-Qur’an Sejarah Tafsir
dan Metode Para Mufassir Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain,
At-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
Azman. Analisis
Tagmemik Dalam Penafsiran al-Qur,a>n, Cet. I; Makassar: Alauddin Press,
2011.
Khalil
,Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa Cet.1; Semarang: Ramadhani, 1952.
Al-Ru>mi>, Fahd ibn ~‘Abdurrah}ma>n ibn Sulaima>ni>. Buh}u>st
fi> Ushu>l al-Tafsi>r wa mana>hijuhu, Cet; IV.
Maktab al-Taubah, 1419 H.
Shihab,
Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
Cet. IV; Jakarta: Lenterab Hati, 2011 M.
Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan al-Qur’a>n
, Cet. II; Bandung: Mizan, 1992 .
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’a>n , (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992 ) , hal. 83
[2]
Azman, Analisis Tagmemik Dalam Penafsiran al-Qur,a>n, (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011),
hal. 18
[3]Dr.
Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an
Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007), h. 31.
[4]
Moenawar Khalil, Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa (Cet.1; Semarang:
Ramadhani, 1952), h, 179.
[5]Marfu’
adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muh}ammad.
[6]Mauquf
adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para sahabat.
[7]Fahd
ibn ~‘Abdurrah}ma>n ibn Sulaima>n al Ru>mi>, Buh}u>st fi>
Ushu>l al-Tafsi>r wa mana>hijuhu (Cet; IV. Maktab al-Taubah, 1419 H) h.
21-21
[8]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah
“Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an (Cet. V; Jakarta: Lentera Hati,
2011 M.), h. 87.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsir wa
al-Mufassiru>n, (Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1976), Jilid. 1, h. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar