Rabu, 17 April 2013

karakteristik tafsir sahabat



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.[1]
Pada masa Nabi saw., para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam ‘Ali> ibn Abi> Tha>lib, Ibn Abba>s, Ubay ibn Kaab dan Ibn Masu>d.
Para sahabat dalam memahami al-Qur’a>n dan mengetahui tafsir al-Qur’a>n berbeda tingkat pemahamannya dan menafsirkannya karena mereka tidak semuanya mempunyai nalar yang cukup untuk memahami al-Qur’a>n, dan di antara mereka adalah yang luas ilmunya tentang kesusatraan dan ada pula yang tidak, ada yang selalu bersama Rasulullah sehingga mengetahui sebab turunnya ayat, ada pula yang tidak bersama rasulullah.[2]
Dengan demikian tidaklah menutup kemungkinan adanya karakter tersendiri pada masa sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis akan bermkasud menjelaskan sebagai berikut:
a.       Siapa saja ahli tafsir di zaman sahabat?
b.      Bagaimana karakteristik tafsir sahabat?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Para Ahli Tafsir Di Zaman Sahabat\
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’a, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasra>ni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa sahabat adalah:
1.    Sahabat Abdullah ibn Abbas r.a.. tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling shah}ih dan dapat dipercaya, ialah yang diriwayatkan dengan jalan Ali ibn Abi Thalhah. Yang biasa diambil atau dikutip oleh Al-Bukha>ri dalam kitab tafsirnya, dan oleh At-Thabari dalam kitab tafsirnya, dan oleh para Imam ahli Tafsir yang mu’tabar. Tafsir Ibnu Abbas yang diriwayatkan dengan jalan Ibnu Juraij dan Mujahid, yang biasa dikutip oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya.
2.    Ali bin Abi Thalib. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau, yang dapat dipercaya karena banyak benarnya, ialah yang diriwayatkan oleh Wahbin dari Ibnu Thufail.
3.    Abdullah bin Mas’ud r.a. tafsir yang shahih dari beliau adalah yang diriwayatkan oleh imam At Thabari dalam kitab tafsirnya. Dan tafsir dari beliau ini sesungguhnya lebih banyak dari pada tafsir Ali bin Abi Thalib.
4.    Ubai ibn Ka’ab ibn Qais al-Anshari al-Khazraji. Ia adalah salah seorang penulis wahyu, ia juga tuan para qari‘ (sayyid al-qurra ). Rasulullah saw., bersabda mengenainya: “Yang paling ahli qira‘ah di antara kalian adalah Ubai. “Rasulullah saw., juga membacakan al-qur’an kepadanya. Beliau memerintahkan agar sahabat belajar al-Qur’an darinya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas.
Ia juga termasuk sahabat yang paling tahu tentang Kitabullah. Hal itu karena sebelum masuk Islam ia adalah salah seorang pendeta Yahudi yang memahami betul kitab-kitab terdahulu dan apa yang terkadung di dalamnya. Ketika ia bergabung dengan kelompok penulius wahyu, maka ilmunya semakin bertambah. Sinarnya semakin terang. Ia sangat terkait erat dengan tempat-tempat turunnya wahyu, nasikh dan mansukh, sebab nuzul, muhkam dan mutasyabih, ururtan ayat dan lain-lain.[3]
5.    Dan lain-lainnya dari antara para sahabat Nabi yang ahli tentang tafsir Al-Qur’an seperti Abu Bakar as Shiddieq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Musa Al- Asy’ari, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair.[4]
Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan Khulafa ialah : ‘Ali ibn Abi Thalib. Dan yang paling banyak diterima tafsirnya dari bukan kalangan Khulafa, ialah : Ibn ‘Abba>s, ‘Abdulla>h ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka‘ab.
Ke-empat mufassir Shah{abi>y ini mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab. Mereka hidup bersama Rasulullah saw., yang memungkinkan mereka mengetahui kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa nuzu>l al-Qura>n dan tidak pula merasa keberatan menafsirkan al-Quran dengan ijtihad.
Ibnu ‘Abbas memiliki banyak pengetahuan dalam hal tafsir, dikarenakan beliau lama hidup bersama sahabat-sahabat besar, walaupun beliau tidak lama hidup dengan Rasulullah saw.
Demikian pula ‘Ali. Beliau hidup lebih lama dibandingkan khalifah-khalifah lainnya yang hidup dimasa ketika ummat Islam benar-benar membutuhkan para ahli yang dapat menafsirkan al-Quran.
Juga banyak diterima riwayat dari Ibnu Mas‘ud. Demikian pula banyak diterima riwayat dari Ubay Ibn Ka‘ab al-Anshari>y, salah seorang penulis wahyu.
Jika nama ke-empat sahabat ini diurut berdasarkan banyak sedikitnya riwayat tafsir yang diterima dari beliau-beliau itu, maka yang pertama, ialah: Ibnu ‘Abbas, kemudian Ibnu Mas‘ud , kemudian ‘Ali ibn Abi> Tha>lib , dan yang terakhir adalah Ubay ibn Ka‘ab al-Anshary.
Adapun Zaid ibn S{a>bit, Abu> Mu>sa al-Asy‘ry dan ‘Abdullah ibn al-Zuvair, maka kedudukan  ini mereka berada dibawah ke-empat sahabat yang tersebut di atas.
Di antara para sahabat yang terkenal juga dalam bidang ilmu tafsir, walaupun tidak banyak, ialah: Anas ibn Ma>lik, Abu> Huirairah, Ibnu ‘Umar, Ja>bir, ‘Amr ibn al-‘Ash dan ‘Aisyah al-Shiddi>qiyah.
Sifat tafsir pada masa pertama , ialah: sekedar menerangkan makna dari segi bahasa dengan keterangan-keterangan ringkas , belum dilakukan istinbath hukum-hukum fiqih.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’.[5] Atau paling kurang adalah Mauquf.[6]
B.     Karakteristik Tafsir Sahabat
Berikut beberapa poin yang berkaitan dengan karakteristik tafsir sahabat:
a.       Masih sedikit  unsur Israiliyya>t yang dimasukkan kedalam tafsir. Karena pada masa itu sahabat sangat teliti dalam mengambil cerita-cerita ahlul kitab dalam hal ini Israilyya>t. Kemudian masa sahabat dengan nabi tidak jauh, sehingga kecil kemungkinan menggunakan Israiliyya>t sebagai sumber Penafsiran.
b.      Mereka tidak menafsirkan al-Quran secara menyeluruh. Karena sebagian besar ayat al-Quran nampak sangat jelas bagi mereka karena mendalamnya pemahaman mereka akan bahasa al-Quran. Dan mereka juga menyadari bahwa keadaan masyarakat pada saat itu yang belum begitu membutuhkan tafsir. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan Sahabat.
c.       Belum adanya kodifikasi atau pembukuan terhadap tafsir. Dalam periode ini (masa Nabi dan sahabat) tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad ke-dua. Disamping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadis, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematikan ayat-ayat al-Quran dan surah-surahnya disamping juga tidak mencakup keseluruhannya. Juga karena yang mendominasi pada saat itu ialah dengan cara riwayat atau menerima secara lisan. Salah satu sahabat yang menulis tafsir pada saat itu adalah ‘Abdulla>h ibn ‘Amru> ibn ‘A<sh.[7]
d.      Masih sedikit perselisihan atau perbedaan diantara mereka dalam memahami makna suatu ayat. Karena kurangnya penafsiran dari mereka, sehingga kurangnya perbedaan.
e.       Sebagian besar dari mereka hanya memahami dengan makna ijma>li atau global, tidak dengan makna tafsi>li atau rinci, seperti QS.‘Abasa [80] 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا yang artinya “ dan buah-buahan serta rumput-rumputan”, sahabat memahami ayat tersebut hanya sebatas “penghitungan nikimat-nikmat Allah kepada hamba-Nya”.
Kata ( أبا ) abban dipahami oleh banyak ulama dalam arti rerumputan. Diriwayatkan bahwa Sayyidina> Abu> Bakar ra. Ditanyai tentang makna kata ini, lalu beliau menjawab: “ Langit tempat aku berlindung, bumi apa tempat aku berpijak, kalau aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak kuketahui”. Ucapan serupa dekemukakan oleh ‘Umar ibn al-Khaththa>b ketika beliau membaca ayat-ayat di atas. Beliau berkata; “Semua ini telah diketahui, tetapi apakah abban itu?” Lalu, mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata; “Inilah (yakni upaya mencari apa yang tidak dapat diketahui) yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, wahai putra Ibu ‘Umar, (maksud beliau dirinya sendiri ) jika tidak mengetahui apakah abban itu. “Lalu, beliau mengarah kepada siapa yang di sekelilingnya seraya berkata: “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah, dan apa yang kamu tidak ketahui, serahkanlah kepada Tuhan”.[8]
            Salah satu makna yang ingin di tekankan oleh Sayyidina> ‘Umar ra. Dengan ucapannya itu adalah tidak menafsirkan al-Qur’an secara spekulatif. Kita tidak harus menafsirkan apa yang yang kita tidak ketahui. Kita hendaknya menyerahkan kepada generasi berikut, boleh jadi mereka dapat menjelaskannya lebih baik dan alngkah banyaknya ucapan Allah---yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang lalu---yang ternyata dapat dijeskan kembali dengan memuaskan oleh ulama generasi sesudah mereka.[9]
Kata atau redaksi yang tidak jelas maknanya dapat ditarik. Yang terpenting adalah menarik makna umum yang dikandungnya. Ayat di atas, walau tidak jelas makna salah satu kata-katanya oleh sementara sahabat Nabi saw., mereka dapat menarik kesimpulan dari keseluruhan ayat-ayatnya bahwa Allah melimpahkan kepada manusia dan hewan nikmat-Nya, yang antara lain adalah nikmat pangan, dan itu haruslah disyukuri.[10]
f.        Menjelaskan makna Lugawi dengan lafadz yang singkat. Seperti ayat غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ yang ditafsirkan dengan lafadz غير متعرض لمعصية.
g.      Masih langka atau jarangnya dilakukan istinbat hukum fiqih dari ayat-ayat al-Quran. Dan belum ada usaha untuk menguatkan madzhab-madzhab tertentu dengan ayat-ayat al-Quran karena belum munculnya maadzhab-madzhab pada saat itu, dikarenakan mereka masih bersatu atau tidak berbeda dalam hal aqidah.
h.      Tafsir masih berformat hadis. Artinya; hadis-hadis yang berkaitan dengan tafsir belum dipisahkan dari hadis-hadis selain tafsir.[11]

BAB III\
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Mufassir yang terkenal dimasa sahabat diantaranya: Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud , ‘Ali ibn Abi> Tha>lib , dan yang terakhir adalah Ubay ibn Ka‘ab al-Anshary.
2.      Di antara para sahabat yang terkenal juga dalam bidang ilmu tafsir, walaupun tidak banyak, ialah: Anas ibn Ma>lik, Abu> Huirairah, Ibnu ‘Umar, Ja>bir, ‘Amr ibn al-‘Ash dan ‘Aisyah al-Shiddi>qiyah.
3.      Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan Khulafa ialah : ‘Ali ibn Abi Thalib. Dan yang paling banyak diterima tafsirnya dari bukan kalangan Khulafa, ialah : Ibn ‘Abba>s, ‘Abdulla>h ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka‘ab.
4.      Mereka tidak menafsirkan al-Quran secara menyeluruh. Karena sebagian besar ayat al-Quran nampak sangat jelas bagi mereka karena mendalamnya pemahaman mereka akan bahasa al-Quran. Dan Mereka belum begitu agresif dalam menafsirkan al-Quran. Sehingga ketika mereka menafsirkan al-Quran, mereka hanya menjelaskan makna global.
5.      Sahabat belum terlalu gemar menulis tafsir karena yang mendominasi pada saat itu ialah dengan cara riwayat atau menerima secara lisan. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan Sahabat. Masih sedikit perselisihan atau perbedaan diantara mereka dalam memahami makna suatu ayat.Sebagian besar dari mereka hanya memahami dengan makna ijma>li atau global. Menjelaskan makna Lugawi dengan lafadz yang singkat. Seperti ayat غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ yang ditafsirkan dengan lafadz غير متعرض لمعصية.Masih langka atau jarangnya dilakukan istinbat hukum fiqih dari ayat-ayat al-Quran. Belum adanya kodifikasi atau pembukuan terhadap tafsir.Tafsir masih bercampur baur dengan dengan hadis.
B.   IMPLIKASI
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari standar kesempurnaan layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali—paling tidak memeriksa referensi yang digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Demikianlah apa yang mampu penulis tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana karakteristik tafsir sahabat. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah swt. Min Alla>h al-Musta’a>n wa Ilaihi al-Tikla>n.












DAFTAR PUSTAKA
Abidu,Yunus Hasan. Tafsir al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain, At-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
Azman. Analisis Tagmemik Dalam Penafsiran al-Qur,a>n, Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011.
Khalil ,Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa Cet.1; Semarang: Ramadhani, 1952.
Al-Ru>mi>, Fahd ibn ~‘Abdurrah}ma>n ibn Sulaima>ni>. Buh}u>st fi> Ushu>l al-Tafsi>r wa mana>hijuhu, Cet; IV. Maktab al-Taubah, 1419 H.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Cet. IV; Jakarta: Lenterab Hati, 2011 M.
Shihab,  Muhammad Quraish. Membumikan al-Qur’a>n , Cet. II; Bandung: Mizan, 1992 .



[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n , (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992 ) , hal. 83
[2] Azman, Analisis Tagmemik Dalam Penafsiran al-Qur,a>n, (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011), hal. 18
[3]Dr. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 31.
[4] Moenawar Khalil, Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa (Cet.1; Semarang: Ramadhani, 1952), h, 179.
[5]Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muh}ammad.
[6]Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para sahabat.
[7]Fahd ibn ~‘Abdurrah}ma>n ibn Sulaima>n al Ru>mi>, Buh}u>st fi> Ushu>l al-Tafsi>r wa mana>hijuhu (Cet; IV. Maktab al-Taubah, 1419 H) h. 21-21
[8]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an (Cet. V; Jakarta: Lentera Hati, 2011 M.), h. 87.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11] Muhammad Husain Adz-Dzahaby, At-Tafsir wa al-Mufassiru>n, (Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1976), Jilid. 1, h. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar