BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Oleh karenanya
manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi karena manusia mempunyai kecenderungan
dengan Tuhan.
Berbicara dan
berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka
masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk
psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada
saja pertanyaan mengenai manusia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan yang
terdapat dalam latar belakang masalah, dapat ditarik beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian manusia menurut ilmu psokologi ?
2. Bagaimana al-Quran memberikan pengertian tentang manusia ?
3. Apa-apa saja sifat manusia sebagai makhluk hidup ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia
Dalam Perspektif Psikologi
Telah merupakan
pendapat psikologi modern bahwa manusia selain merupakan makhluk biologis yang
sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga mkhluk yang mempunyai
sifat-sifat tersendiri yang berbeda dengan makhluk dunia lainnya. Oleh karena
itu dalam mempelajari manusia kita harus mempunyai sudut pandang yang khusus
pula. Kita tidak dapat menjadikan manusia hanya sebagai obyek seperti pandangan
kaum materialis, tetapi kita juga tidak dapat mempelajari manusia hanya
dari kesadarannya saja seperti pandangan kaum idealis. Manusia adalah
obyek yang sekaligus juga subyek. E.Cassirer menyatakan bahwa manusia itu
adalah “Makhluk Simbolis” dan Plato merumuskan : “Manusia harus dipelajari
bukan dalam kehidupan pribadinya, tetapi dalam kehidupan sosial dan kehidupan
politiknya. Sedangkan menurut faham filsafat eksistensialisme : “Manusia adalah
eksistensi”. Manusia tidak hanya ada atau berada di dunia ini , tetapi ia
secara aktif “mengada”.[1]
Manusia tidak
semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif menerima keadaanya, tetapi
ia selalu secara sadar dan aktif menjadikan ia sesuatu. Proses perkembangan
manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri, berbeda dengan
makhluk-makhluk yang lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam. Kebutuhan
untuk terus menerus menjadi inilah yang khas manusiawi, dan karena itu pulalah
manusia bisa berkarya, bisa mengatur dunia untuk kepentingannya, sehingga timbullah
kebudayaan dalam segala bentuknya itu, yang tidak terdapat pada makhluk
lainnya. Bentuk-bentuk kebudayaan ini antara lain adalah sistem perekonomian,
kehidupan sosial dengan norma-normanya dan kehidupan politik.[2]
Untuk lebih
jelasnya bagaimana manusia dipandang oleh psikologi, akan mudah jika
membahasnya berdasarkan pandangan aliran-aliran yang berkembang dalam psikologi
sampai dengan penghujung abad XX, yang terdapat empat aliran besar dalam
psikologi, yaitu:
a) Psikoanalisa (SIGMUND FRUED 1856-1939)
Ketika
aliran-aliran penting dalam psikologi sedang berkembang dengan pesatnya
mengadakan penelitian-penelitian psikologis secara eksperimental, disaat itu
pula muncul pandangan psikologi yang dikembangkan melalui dasar-dasar tinjauan
klinis-psikiatris oleh aliran psikoanalisa yang dipelopori oleh Sigmund
Frued, seorang yang berkebangsaan Jerman keturunan Yahudi yang dilahirkan
pada tanggal 6 Mai 1856 di Freiberg dan meninggal pada 2 september 1939 di
London.[3]
Bagi Frued segala
bentuk tingkah laku manusia bersumber dari dorongan-dorongan alam bawah sadar.
Dialektika antara kesadaran dan ketidaksadaran ini dijelaskan Frued dalam tiga
system kejiwaan, dintaranya adalah :
1.
Id (das-es), terletak dalam alam bawah sadar dan merupakan dorongan-dorongan
primitive, yakni dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh
kebudayaan atau dorongan bawaan sejak lahir, seperti dorongan mempertahankan
kehidupan (life instinct) dan dorongan untuk mati (death instinct). Bentuk
dorongan hidup adalah dorongan agresi seperti keinginan menyerang , berkelahi,
dan marah.
2.
superegon (das-ueber ich) merupakan kebalikan atau lawan dari Id (das-es).
Superego sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan atau hasil pembelajaran dan
dipengaruhi oleh pengalaman. Segala norma-norma yang diperoleh melalui
pendidikan menjadi pengisi dalam sistem superego, sehingga superego penuh
dengan dorongan-dorongan untuk melakukan kebaikan, mengikuti norma-norma
masyarakat
3.
Ego (das-ich), bisa dikatakan sebagai sintesis dari peperangan antara Id dan
Superego. Ego berfungsi sebagai penjaga, mediator atau bahkan pendamai dari dua
kekuatan yang berlawanan ini. Ego hanya menjalankan prinsip hidup secara
realistis, yakni kemampuan untuk menyesuaikan dorongan-dorongan Id dan Superego
dengan kenyataan di dunia luar. Jika Ego terlalu dikuasai oleh Id maka orang
itu mengidap “Psikoneurosis”(tidak dapat mengeluarkan dorongan primitifnya).
Untuk itu pada satu sisi Ego dapat berfungsi sebagai motifasi diri, namun pada
sisi lain karena tekanan superego bisa saja menjadi penyebab terbesar dalam
pertentangan dan aliensi diri.[4]
b) Behaviorisme (JHON BROADE 1878-1958)
Behaviorisme adalah
aliran yang terdapat di Amerika Serikat. Aliran ini di temukan oleh Jhon
Broade Watson (1878-1958), ia menentang pandangan yang berlaku saat itu
bahwa dalam eksperimen-eksperimen psikologi diperlukan instropeksi. Introspeksi
yang berarti mengamati perasaan sendiri, digunakan dalam eksperimen-eksperimen
di laboraturium Wundt untuk mengetahui ada atau tidak adanya perasaan-perasaan
tertentu dalam diri orang yang diperiksa. Bagi aliran ini manusia dipandang
sebagai hasil dari jumlah kondisi-kondisi yang mempengaruhinya. Bagi Watson
psikologi harus menjadi ilmu yang objektif.
Dan bagi aliran ini
manusia di pandang sebagai hasil dari jumlah kondisi-kondisi yang
mempengaruhinya, behavorisme memandang manusia dari segi yang nampak
(badaniah), tidak memandang manusia dari segi rohaniah. Di samping itu kaum
behaviorisme memiliki semboyan “the trust is in the making”, kebenaran
adalah apa yang dapat di praktekan dengan tepat dan menguntungkan, dan tidak
ada pula dalam praktek yang tidak memberi hasil. Pandangan behaviorisme ini
banyak mempengaruhi psikologi modern, salah satunya adalah “B.F.SKINNER” yang
berpendapat bahwa “lingkungan merupakan kunci penyebab terjadinya tingkah
laku”. Tingkah laku biasanya timbul atau terjadi dan dikendalikan oleh sebab
dan akibat lingkungan.[5]
c) Humanisme (ABRAHAM MASLOW)
Aliran yang dapat
dikatakan baru berkembang dalam psikologi ialah aliran yang dikenal dengan
sebutan “Humanisme” dan dalam psikologi sering dikenal sebagai “the third
force”, pada aliran ini mempunyai tokoh yang terkenal diantaranya adalah: Carl
Rogers, Abraham Maslow, dan aliran ini dikembangkan sebagi bantahan
atas kekurangan yang mereka lihat pada pendapat aliran Behaviorisme dan
Psikoanalisa.
Bagi aliran ini
manusia pada dasarnya baik dan memiliki kebebasan (free will) untuk
menentukan dirinya. Humanisme menolak gagasan Frued yang menyatakan bahwa
kepribadian itu diatur oleh kekuatan bawah sadar manusia, dan tidak
setuju/menolak ide pendapat behavioris bahwa manusia dikuasai/dikendalikan oleh
lingkungan. Pada dasarnya Humanisme juga mengakui bahwa pengalaman masa lalu
itu mempengaruhi kepribadian, tetapi harus diakui pentingnya kedudukan. Salah
satu teori Abraham Maslow yang terkenal dan banyak diterapkan oleh berbagai
cabang psikologi terapan adalah teori “Hierarki kebutuhan manusia”. Dalam teori
ini Maslow menyatakan ada lima macam kebutuhan manusia yang berjenjang keatas,
kebutuhan yang lebih tinggi akan timbul jika kebutuhan yang lebih rendah
terpenuhi, ke lima teori tersebut adalah :
Ø Self actualization : (Kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri)
Ø Esteem needs : (Kebutuhan untuk dihargai)
Ø Belonging and love needs : (Kebutuhan untuk dicintai
dan disayangi)
Ø Security needs :
(Kebutuhan akan rasa aman dan tentram)
Ø Survival fisiologis/basic needs : (Kebutuhan
–kebutuhan fisiologis dasar)
d) Transpersonal
Bagi aliran ini,
manusia di pandang “memiliki potensi-potensi luhur dapat keluar dari kesadaran
biasa.” Aliran ini adalah pengembangan lebih lanjut dari psikologi Humanisme,
bahkan Abraham Maslow, Anthony sutich dan Carlos Taart yang juga pemuka
psikologi Humanistik menjadi peletak dasar psikologi Transpersonal. Sedangkan
tokoh pengembangnya adalah S.Y.Skapiro dan Denise H.Lajole.
Setelah mereka
menelaah lebih dari empat puluh ragam definisi tentang psikologi Transpersonal,
akhirnya mereka sepakat bahwa “psikologi Transpersonal memiliki concern pada
kajian tentang harkat kemanusiaan, berusaha memahami potensi luhur kemanusiaan
yang berhubungan dengan fenomena/gejala tentang kesaatuan spiritual sebagai
sebuah bentuk kesadaran terpanting dari derajat kemanusiaan.” Definisi ini
mengarahkan untuk menarik kesimpulan bahwa concern psikilogi transpersonal
memaandang manusia dari dua segi, yaitu:
a.
Potensi-potensi
luhur (the highest potential)
b.
Fenomena
kesadaran (state of consciousness)
Psikologi
transpersonal, sebagaimana psikologi humanistic menaruh perhatiaan kepada
dimensi spiritual manusia yang berpotensi mengembangkan kemampuan luar biasa,
yang sejauh ini terabaikan oleh telaah psikologi kontemporer. Perbedaan yang
mencolok antara psikologi Humanistik dengan transpersonal, adalah bahwa
psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk meningkatkan
hubungan antara manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk
meneliti pengalaman subjektif-transendental serta pengalaman luar biasa dari
dimensi spiritual manusia.[6]
B.
Manusia
Dalam Perspektif Al-Quran
Dalam al-Qur’an ada
tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia yaitu insan,
basyar dan Bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata
yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar
kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar
karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain.
Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali
dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriyah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad
SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,[7]
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang di
beri wahyu”. (Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110).[8]
Dari sisi lain
dapat diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar
yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui
tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ
مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِوَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ
مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah)
menciptakan kamu dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rum, 30 : 20).[9]
Bertebaran disini
bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran karena
mencari rizki kedua hal tersebut tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh
orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itupula Maryam a.s.
mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak-- padahal dia belum pernah
disentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan berhubungan
seks. (Qs Ali Imron, 3 : 47). Demikain terlihat basyar dikaitkan dengan
kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul suatu
tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas khalifah di bebankan kepada basyar (perhatikan
QS Al Hajr 15 : 28 yang menggunakan basyar).
Kata insan
terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis
dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an
lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil
dari kata nasiya (lupa, lalai) atau na>sa-yanu>su (berguncang).
Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara
seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental)
dan kecerdasan.[10]
Dalam al-Qur’an,
manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara
positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi
jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan
bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti
dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu
menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah
dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.
C.
Sifat-sifat Manusia Sebagai
Makhluk Hidup
1. Ikatan-ikatan
biologis
Sebagai kontras terhadap
eksistensi manusia, maka manusia adalah makhluk biologis yang sampai pada
batas-batas tertentu terikat pada kodrat alam. Manusia membutuhkan udara untuk
bernafas, makanan dan minuman untuk mempertahankan hidupnya. Untuk
memperkembangkan keturunannya, manusia memerlukan pula hubungan seksuil.
Susunan syaraf, susunan tulang dan otot, peredaran darah, denyutan jantung,
bekerjanya kelenjar-kelenjar dan sebagainya, semuanya sudah diatur secara
tertentu dan tidak dapat lagi diubah. Meskipun khayalan kita bisa menembus
dimensi ruang dan waktu, tetapi badan kasar kita selalu terikat pada ruang dan
waktu.
Dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain, manusia adalah satu-satunya makhluk yang tidak dibekali
alat-alat untuk bertahan dalam lingkungannya secara alamiah. Manusia tidak
mempunyai bulu tebal untuk melawan dingin, manusia tidak dapat terbang, manusia
tidak mempunyai kuku dan taring yang tajam. Semua ini menunjukkan betapa
manusia sebagai makhluk biologis sangat lemah. Hanya tingkat kecerdasan yang
tinggilah satu-satunya modal manusia untuk tetap bertahan dalam dunia ini.[11]
2. Makhluk
adalah satuan hidup
Meskipun
tiap-tiap makhluk mempunyai bagian-bagian tubu, ada yang sederhana terdiri dari
satu atau dua bagian, ada pula yang lebih sempurna terdiri dar ratusan bagian,
namun bagian-bagian itu merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Tiap-tiap bagian mempunyai fungsinya sendiri-sendiri dan
fungsi-fungsi itu dikoordinasikan untuk makhluk yang bersangkutan beradaptasi
terhadap lingkungannya dan bertahan dalam lingkungannya. Bagian-bagian tubuh
itu kalau dilepaskan dari organisasi tubuh secara keseluruhan tidak dapat lagi
berfungsi. Misalnya, kaki yang alat untuk berjalan. Khususnya pada manusia
“jiwa”, kesadaran dan ketidaksadaran juga termasuk dalam satuan hidup tersebut.[12]
3.
Sistem energi yang dinamis
Sebagai
makhluk hidup, manusia selalu membutuhkan energi untuk mempertahankan hidupnya,
untuk mengembangkan keturunan, untuk tumbuh dan untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya.
Karena
kebutuhan akan energi itu, manusia
selalu membutuhkan eneergi dalam tubuhnya. Jumlah energi yang tersedia harus
sesuai dengan yang yang diperlukan. Kalau manusia pada suatu saat demikian
aktifnya sehingga membutuhkan energi yang melebihi persediaan yang ada, maka
akan terjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas tersebut.[13]
4.
Pertumbuhan yang mengikut pola
tertentu.
Pertumbuhan
manusia sejak dalam kandungan sudah ditentukan polanya, dan tiap-tiap sel tubuh
berkembang sesuai dengan garis perkembangannya masing-masing. Semuanya mengarah
kepada suatu tujuan untuk menjadi makhluk manusia dengan organ-organnya yang
tersusun secara harmonis. Demikianlah, meskipun pada hari-hari pertama dalam
kandungan sel-sel janin nampaknya serupa saja semuanya (homogen), tetapi pada
tingkat perkembangan selanjutnya sebagian dari sel-sel itu akan berkembang
menjadi jantung, lainnya jadi otak, jadi tangan, kaki dan sebagainya, sehingga
akhirnya terjadilah seorang manusia yang sempurna.[14]
5.
Pengaruh proses pematangan
terhadap tingkah laku
Tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dengan proses
pematangan organ-organ tubuh. Seorang bayi misalnya, belum dapat duduk atau
berjalan jika organ-organ tubuhnya (tulang punggung, kaki leher dan sebagainya)
belum cukup kuat. Contoh klasik daripada proses pematangan anggota tubuh ini
adalah anak burung yang sejak menetas
dari telurnya dikurung dalam sangkar. Pada suatu saat setelah beberapa
lama ia dikurung itu, ia akan langsung terbang kalau sangkarnya dibuka,
sekalipun ia tidak pernah belajar terbang sebelumnya.
Pada manusia gejala ini nampak pada anak-anak suku Indian
tertentu di Amerika yang selama masa bayinya terus-menerus diikat di punggung
ibunya. Pada suatu saat bila organ-organ tubuhnya sudah cukup matang, ia dapat langsung berjalan tanpa harus belajar
dahulu.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Manusia selain
merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga
mkhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang berbeda dengan makhluk dunia
lainnya. . E.Cassirer menyatakan bahwa manusia itu adalah “Makhluk Simbolis”
dan Plato merumuskan : “Manusia harus dipelajari bukan dalam kehidupan
pribadinya, tetapi dalam kehidupan sosial dan kehidupan politiknya. Sedangkan
menurut faham filsafat eksistensialisme : “Manusia adalah eksistensi”. Manusia
tidak hanya ada atau berada di dunia ini , tetapi ia secara aktif “mengada”.
Psikologi pada
dasarnya adalah ilmu yang menelaah prilaku manusia. Psikologi memandang manusia
dari empat aliran, diantaranya :
1.
Psikoanalisa
(SIGMUND FRUED 1856-1939)
2. Behaviorisme
(JHON BROADE 1878-1958)
3. Humanisme
(ABRAHAM MASLOW)
4. Transpersonal
Dalam al-Qur’an ada
beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar
dan Bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada
mulanya berarti “penampakan sesuatu dengan baik dan indah”. Dari akar kata yang
sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar
karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain.
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti
jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang
al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan
terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau na>sa-yanu>su
(berguncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada
manusia dengan seluruh totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia
yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan
fisik, psikis (mental) dan kecerdasan. Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki beberapa sifat :
1. Ikatan-ikatan
biologis
2. Makhluk
adalah satuan hidup
3.
Sistem energi yang dinamis
4.
Pertumbuhan yang mengikut pola
tertentu.
B.
IMPLIKASI
Sebagai
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis
hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak,
termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan
pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh
dari standar kesempurnaan layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah
kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali—paling tidak
memeriksa referensi yang digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian
tersebut dapat lebih valid.
Menyikapi
segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang kuantitas penafsiran
Rasulullah saw. termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya
dijadikan sebuah motifasi untuk terus mempelajari ilmu tafsir terlebih lagi
tentang tafsir itu sendri.
Demikianlah
apa yang mampu penulis tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja
keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana
kuantitas penafsiran Rasulullah saw. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu
bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di
sisi Allah swt. Min Alla>h al-Musta’a>n wa Ilaihi al-Tikla>n.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Akyas, Psikologi
Umum & Perkembangan.
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya,
Bandung: CV Penerbit Juma>natul ‘Ali, 2005>
Shihab, M. Quraish,
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu>’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet.
XVI; Bandung: Mizan, 2005 M.
Wirawan
Sarwono, Sarlito. Pengantar Umum Psikologi Cet. II; Jakarta:
Bulan Bintang, 1982.
Http://psikologi/manusia-dalam-perspektif-psikologi.html
[1]Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Cet. II;
Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 26.
[3]http://psikologi/manusia-dalam-perspektif-psikologi.html
[4]http://psikologi/manusia-dalam-perspektif-psikologi.html
[5]DR. Akyas Azhari, Psikologi Umum & Perkembangan, h. 18
[6]http://psikologi/manusia-dalam-perspektif-psikologi.html
[7]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu>’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. XVI; Bandung; Mizan, 2005 M), h. 367-368.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, (Bandung:
CV Penerbit Juma>natul ‘Ali, 2005>), h. 305.
[10]Muhammad Quraish Shihab, op.Cit, h. 369.
[11]Sarlito Wirawan Sarwono, op.Cit., h. 27-28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar