Rabu, 17 April 2013

ABU YAZID AL-BUSTAMIY DALAM KONSEP FANA' DAN BAQA'



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga bisa dikatakan bahwasanya al-tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al-akhlaqu bidayah al-tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi. Intuisi disini maksudnya adalah mengosongkan diri dari dosa.
Ditinjau dari paradigma pengalamannya, tasawuf terbagi menjadi tasawuf Salaf, tasawuf Sunni, dan tasawuf Falsafi. Fana>’ dan baqa>’ adalah merupakan salah satu komponen dari tasawuf Sunni. Tokoh yang mengembangkan ajaran ini adalah Abu> Yazi>d al-Bustamiy. Beliau adalah sosok yang di kenal “gila” akan kecintaanya kepada Tuhan. Bahkan ia harus rela keluar masuk penjara sebagai akibat kecintaan tersebut. Hal ini disebabkan karena beliau sering melontarkan kata-kata ganjil yang secara lahiriyah mengandung makna kontroversial.
Namun pada intinya Abu> Yazi>d maupun orang yang bergelut di dunia tasawuf yang memilih jalan yang lain selain fana>’ dan baqa>’ mempunyai tujuan yang sama yakni ingin mendekatkan diri kepada Allah swt. dan mencapai ridha-Nya.
B.    RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan judul makalah ini yakni “Abu> Yazi>d al-Bustamiy dalam konsep fana>’ dan baqa>’”, dan masalah yang terdapat pada latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang akan dijadikan kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan sebagai berikut:
1.         Siapakah sebenarnya sosok Abu> Yazi>d al-Bustamiy?
2.         Bagaimanakah konsep fana>’ dan baqa>’ Abu> Yazi>d al-Bustamiy?
3.         Apakah tujuan fana>’ dan baqa>’?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    RIWAYAT HIDUP ABU< YAZI<D AL-BUSTAMIY
Abu> Yazi>d al-Bustamiy, nama lengkapnya adalah Abu> Yazi>d bin ‘I<sa> bin Syurusan Bustamiy. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur.[1] Ia lahir sekitar tahun 200 H/ 814 M di Bustam, bagian timur laut Persia. Di bustam ini pun ia meninggal pada tahun 261 H/ 875 M. dan makamnya masih ada hingga saat ini.[2] Kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.[3]
Sebelum Abu> Yazi>d mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana>’ dari Abu> ‘Ali> Sindi>.[4]
Abu> Yazi>d adalah seorang zahid[5] terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah swt. Hal tersebut berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat, dan zuhud terhadap selain Allah swt. Dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah swt.
Abu> Yazi>d merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak ditentang oleh ulama fiqh dan ulama kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Kata-kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam sehingga jika ditangkap secara lahiriyah akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan dengan manusia.
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu> Yazi>d dipandang sebagai pembawa faham fana>’ dan baqa>’ sekaligus pencetus faham ittih}a>d.[6] Dengan pencapaian fana>’ dan baqa>’ maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu>Yazid mengaku dirinya Tuhan, padahal sesungguhnya ia tetap manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.”[7]
Selanjutnya Abu> Yazi>d mengatakan:
لا اله الا انا فاعبدنى [8]
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
سبحانى ، سبحانى ، ما اعظم شأنى [9]
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lewat di rumah Abu> Yazi>d dan mengetok pintu. Abu> Yazi>d bertanya: “Siapa yang engkau cari?” jawabannya: “Abu> Yazi>d”. lalu Abu> Yazi>d berkata: “Pergilah, di rumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.[10]
Pada lain kali Abu> Yazi>d berkata:
ليس فى الجبة الا الله [11]
“Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah”
Namun, perlu dicatat bahwa Abu> Yazi>d tidaklah mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal ini Nampak ketika Ia mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syariat.[12]
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara`’. Selain itu, Abu> Yazi>d juga pernah berkata: “Aku tidak heran terhadaap cintaku pada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena engkau adalah raja Yang Maha Kuasa. Aku tidak inginkan dari Allah kecuali hanya Allah. Manusia dari dosa-dosa mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku. Tiada Tuhan selain Allah, karena dalam hati ini aku memakai alat dan huruf, sedang Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf.[13]
Sekali lagi jelaslah bahwa Abu> Yazi>d tidak mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.
B.  KONSEP TASAWUF ABU< YAZI<D AL-BUSTAMIY
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Abu> Yazi>d adalah seorang yang pertama kali memunculkan faham fana>’ dan baqa>’ serta pencetus faham ittih}a>d. Namun, pada pembahasan kali ini penulis hanya akan membahas tentang fana>’ dan baqa>’.
Secara harfiah fana>` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana’an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[14]
Sedangkan dari segi bahasa kata fana>` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur.[15] Sedang dalam kamus Al-Munawwir, kata ini berarti rusak, binasa dan musnah.[16] Perlu digarisbawahi bahwa fana>’ berbeda dengan fasad (rusak). Fana>’ artinya  tidak tampaknya sesuatu sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada yang lain. Dalam hubungan ini Ibnu Sina ketika membedakan antara benda-benda yang sifatnya samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa  keberadaan benda alam itu atas dasar permulaanya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana>’, bukan dengan cara rusak.[17]
Dalam istilah tasawuf, fana>’ adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/ 988 M) mendefinisikannya “Hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.[18]
Adapun arti fana>’ menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana>’ berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela.[19] Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana>’ adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariah-an, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana>’ dari alam cipta atau dari alam makhluk.[20]
i
Dalam  menjelaskan  pengertian  fana>’,  al-Qusyairi menulis, “Fana>’-nya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittih}a>d.”[21]
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.
Adapun baqa>’ berasal dari kata baqiya yang berarti al-dawa>m (tetap, kekekalan dan keabadian).[22] Sedangkan dalam kamus al-Munawwir, kata baqiya berarti tetap, tinggal dan kekal.[23] Dalam kamus al-Kautsar, baqa>’ berarti tetap, tinggal, kekal.[24] Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Baqa>’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana>’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam tasawuf, fana>’ dan baqa>’ datang beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur ke-baqa>’-an, maka fana>’-lah yang tiada, dan baqa>-lah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana>` dari dirinya dan baqa`> dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.[25]
Dengan demikian, dapatlah difahami bahwa yang dimaksud dengan fana>’ adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa>’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat.
Pencapaian Abu> Yazi>d ke tahap fana>’ dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…” Jalan menuju fana>’ menurut Abu> Yazi>d dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu (nafsumu) dan kemarilah.”[26]
Abu> Yazi>d sendiri pernah melontarkan kata fana>’ pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
 “Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana>’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun hidup.”
Selain itu, Abu> Yazi>d pernah berkata: “Hai engkau. Aku dengan perantara-Nya menjawab: Hai aku. Ia berkata ‘Engkaulah yang satu’. Aku menjawab akulah yang satu. Selanjutnya ia berkata: Engkau adalah Engkau. Aku menjawab; ‘Aku adalah Aku’. Di sini Abu> yazi>d menggunakan kata ‘Aku’ bukan sebagai gambaran dirinya sendiri, tetapi gambaran tuhan, karena dia telah bersatu dengan Tuhan. Dengan kata lain, Abu> Yazi>d dalam ittih}a>d berbicara dengan nama Tuhan; atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu> Yazi>d. Lebih nyata lagi dapat dilihat dari perkataan Abu> Yazi>d: “Sesungguhnya Dialah yang berbicara melalui lidahku, sedang aku pada saat itu dalam keadaan fana>’.[27] Jadi sebenarnya Abu> Yazi>d tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata seperti itu bukan diucapkan oleh Abu> Yazi>d sebagai kata-katanya sendiri, melainkan kata-kata Tuhan yang diucapkannya dalam keadaan fana>’.
Di samping ajaran di atas, terdapat pula ucapan-ucapan tentang hidup kerohanian lainnya, yang menjadi perhatian dan pengagumnya, terutama di kalangan kaum sufi, misalnya: “pertikaian para ulama adalah rahmat kecuali dalam ketauhidan. Abu> Yazi>d pernah ditanya orang tentang pengertian sunnah dan Fardhu. Ia menjawab: “Sunnah ialah meninggalkan dunia dengan segala isinya dan fardhu ialah bersahabat dengan Allah swt.” Ketika Abu> Yazi>d ditanya tentang umurnya, ia segera menjawab: “Empat tahun”. Si penanya dengan kaget kembali bertanya: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” ia pun kemudian menjawab: “Aku telah tertabiri dari Tuhan oleh dunia selama tujuh puluh tahun, dan saya baru dapat melihatnya selama empat tahun terakhir ini.[28]
Tuhan begitu berlimpah sehingga manusia menjadi tak berarti apa-apa, bahkan ketika memikirkan asma-Nya atau mengucapkan kata Allah dengan kekaguman yang semestinya, Abu> Yazi>d sampai tak sadarkan diri. Abu> Yazi>d pernah mebgucapkan azan lalu pingsan. Ketika sadar kembali, dia berkata: “Menakjubkan bahwa orang tidak mati ketika ia mengumandangkan azan.”[29]
Tampaknya bagaimanapun ajaran yang dikemukakan Abu> Yazi>d, semuanya mengacu pada tema pahamnya, yaitu ittih}a>d yang berawal dari paham fana>’. Cirri yang mendominasi paham Abu> Yazi>d adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi, tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya.
C.   TUJUAN FANA< DAN BAQA<’
Setelah mengetahui pengertian fana>‘ dan baqa>’, perlu diketahui tujuan fana>‘ dan baqa>’ adalah mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Fana>‘ merupakan keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan Rohani dengan Tuhan). Tatkala fana>‘ dan baqa>’ berjalan selaras dan sesuai dengan fungsinya maka seorang Sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.[30]
Tujuan sufi untuk merasakan fana>‘ dan baqa>’ bukanlah untuk mendapatkan pengalaman, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diatur oleh syariat, tetapi untuk mewujudkan ikhlas.[31] Sufi melewati pengalaman fana>’ dan baqa>’ sehingga ia dapat meniadakan atau menyangkal diri secara utuh, dan hidup secara adil semata-mata demi keridhaan Ilahi. Makna mistik dari fana>’ dan baqa>’ hanyalah cara, dengan kata lain adalah untuk menghilangkan (kebanggaan) diri demi mematuhi perintah Ilahi, sebagaimana yang disebut Sirhindi[32] sebagai fana>’ al-haqiqi, atau fana>’ yang nyata. Ia menulis: “fana>’” sejati adalah melupakan segala sesuatu yang bukan-Ilahiah, meniadakan kecintaan akan dunia, dan membersihkan hati dari segala pamrih dan keinginan, sebagaimana yang dituntut (dan seharusnya dilaksanakan) seorang abdi. Dan baqa sejati adalah melaksakan kehendak Tuhan, dan menjadikan kehendak-Nya sebagai kehendak dirinya tanpa harus kehilangan akan identitas dirinya (sebagai hamba).[33]















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut di atas, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.         Abu> Yazi>d merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak ditentang oleh ulama fiqh dan ulama kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Kata-kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam sehingga jika ditangkap secara lahiriyah akan membawa kepada syirik.
2.         Konsep tasawuf yang dikembangkan oleh Abu> Yazi>d adalah fana>’ dan baqa>’ serta ittih}a>d. Fana>’ adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa>’ adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan ittih}a>d adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, unt  
3.         zuk mencapai  hal tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
4.         Meskipun secara redaksional kata-kata Abu> Yazi>d seakan mengatakan dirinya Tuhan, tetapi sesungguhnya ia tidaklah bermaksud demikian karena di kali lain ia pun mengakui keberadaan Tuhan. Kata-kata tersebut diucapkan tidak lain hanyalah ungkapan cinta kepada Tuhan atau sebuah proses ittih}a>d setelah melalui fana>’.
5.         Tujuan sufi untuk merasakan fana>‘ dan baqa>’ bukanlah untuk mendapatkan pengalaman, atau melaksanakan sesuatu yang tidak diatur oleh syariat, tetapi untuk mewujudkan ikhlas. Sufi melewati pengalaman fana>’ dan baqa>’ sehingga ia dapat meniadakan atau menyangkal diri secara utuh, dan hidup secara adil semata-mata demi keridhaan Ilahi.
B.  IMPLIKASI
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari standar kesempurnaan layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali—paling tidak memeriksa referensi yang digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Demikianlah apa yang mampu penulis tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana kuantitas penafsiran Rasulullah saw. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah swt. Min Alla>h al-Musta’a>n wa Ilaihi al-Tikla>n.



DAFTAR PUSTAKA
‘Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. Haqa>’iq at-Tashawwuf, terj. oleh Taufik Damas, Hakekat Tasawuf  Cet: 12; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010.
Ansari, Muhammad Abdul Haq. Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syaikh Ahmad Sirhindi  Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta; 1997.
Anwar, Rosihan. dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Fathurrahman, Oman. Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17, Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999.
Al-Habsyi, Husin. Kamus al-Kautsar: Arab – Indonesia, Surabaya: Darussagaf P.P. Alawy, 1997.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya  Cet. XI; Jakarta: Pustak Panjimas, 1984.
Ibnu Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M.
Mah}mud, Abd al-Qadir. Al-Falsafah Al-Sufiyah Al-Islami, Cairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, t.t.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap ditelaah oleh KH. Ali Ma‘shum dan KH. Zainal Abidin Cet. XIV; Jakarta: 1997.
Al-Naisa>bu>riy, Al-Qusyairiy. al-Risa>lah al-Qusyairiy Mesir: Da>r al-Khair, t.t.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Shaliba, Jamil. Mu‘jam al-Falsafiy Juz II Beirut: Da>r al-Kitab, 1979.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf  Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1985.


[1]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 235.
[2]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 295. Perlu dicatat bahwa penulisan namanya terdapat beberapa macam, ada yang menulisnya dengan al-Bustami, al-Bistomi, al-Bustomi, dan al-Bastomi serta sering pula dengan Bayazid.
[3]Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 8
[4]Asmaran As, op. cit.  hal. 296.
[5]Zahid adalah seseorang mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan semua keindahannya, serta mengisinya dengan cinta kepada Allah dan Makrifat kepada-Nya. Lihat Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Haqa>’iq at-Tashawwuf, terj. oleh Taufik Damas, Hakekat Tasawuf (Cet: 12; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010) Hal. 240.
[6]Asmaran As, op. cit.  hal. 296.
[7]Abuddin Nata, op. cit. hal. 236.
[8]Ibid. hal. 236
[9]Ibid. hal. 236
[10]Ibid.  lihat pula Asmaran As, op. cit.  hal. 300.
[11]Abuddin Nata, op. cit. hal. 237.
[12]Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya  (Cet. XI; Jakarta: Pustak Panjimas, 1984), hal. 102.
[13]Lihat pula Asmaran As, op. cit.  hal. 299.
[14]Muhammad Abdul Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syaikh Ahmad Sirhindi  (Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta; 1997), hal. 47.
[15]Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Surabaya: Darussagaf P.P. Alawy, 1997), hal. 362.
[16]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap ditelaah oleh KH. Ali Ma‘shum dan KH. Zainal Abidin (Cet. XIV; Jakarta: 1997), hal. 600-601.
[17]Abuddin Nata, op. cit. hal. 231. Yang dikutip dari Jamil Shaliba, Mu‘jam al-Falsafiy Juz II (Beirut: Da>r al-Kitab, 1979), hal. 167.
[18]Rosihan Anwar, dan Mukhtar Solihin, op. cit.  hal. 130.
[19]Jamil Shaliba, loc. cit. hal. 167.
[20]Abuddin Nata, op. cit. hal. 231. Yang dikutip dari Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf  (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hal. 234.
[21]Al-Qusyairiy al-Naisa>bu>riy, al-Risa>lah al-Qusyairiy (Mesir: Da>r al-Khair, t.t.), hal.3030.
[22]Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), hal. 259.
[23]Ahmad Warson Munawwir, op. cit. hal. 101.
[24]Husin al-Habsyi, op. cit. hal. 26.
[25]Abuddin Nata, op. cit. hal. 232-233.
[26]Asmaran As, op. cit.  hal. 299.
[27]Abd al-Qadir Mah}mud, Al-Falsafah Al-Sufiyah Al-Islami, (Cairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, t.t.), hal. 310.
[28]Asmaran As, op. cit.  hal. 302.
[29]Ibid. hal. 303.
[30]Abuddin Nata, op. cit.  hal. 234-235.
[31]Sirhindi, Maktubat, Vol. I: hal. 589.
[32]Imam Rabbani mujaddid Alf-Sani Syaikh Ahmad Farooqi Sarhindi. Imam Rabbani (semoga Allah kasihanilah dia) lahir hari Jumat malam di 97 AH di Sirhind, sebuah kota di provinsi Punjab, India. Dia menanggung nama Syaikh Ahmad sambil mujaddid Alf-Sani adalah sebutan nya. Dengan keturunan, ia berkaitan dengan Hazrat Umar Farooq (Semoga Allah diberkati dengan dia). Dia adalah seorang sarjana Islam India dari Punjab dan seorang anggota terkemuka dari Tarekat Sufi Naqsybandi. Dia digambarkan sebagai mujaddid Alf Thani, yang berarti "minuman keras dari milenium kedua", untuk karyanya dalam meremajakan Islam.
[33]Ibid. Vol. I: hal. 1172-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar