BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Akhlak
Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai
hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak
sehingga bisa dikatakan bahwasanya al-tashawwufu nihayatul akhlaq
sedangkan al-akhlaqu bidayah al-tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan
pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi. Intuisi disini maksudnya adalah
mengosongkan diri dari dosa.
Ditinjau
dari paradigma pengalamannya, tasawuf terbagi menjadi tasawuf Salaf,
tasawuf Sunni, dan tasawuf Falsafi. Fana>’ dan baqa>’
adalah merupakan salah satu komponen dari tasawuf Sunni. Tokoh yang
mengembangkan ajaran ini adalah Abu> Yazi>d al-Bustamiy. Beliau adalah
sosok yang di kenal “gila” akan kecintaanya kepada Tuhan. Bahkan ia harus rela
keluar masuk penjara sebagai akibat kecintaan tersebut. Hal ini disebabkan
karena beliau sering melontarkan kata-kata ganjil yang secara lahiriyah
mengandung makna kontroversial.
Namun
pada intinya Abu> Yazi>d maupun orang yang bergelut di dunia tasawuf yang
memilih jalan yang lain selain fana>’ dan baqa>’ mempunyai
tujuan yang sama yakni ingin mendekatkan diri kepada Allah swt. dan mencapai
ridha-Nya.
B. RUMUSAN
MASALAH
Sesuai
dengan judul makalah ini yakni “Abu> Yazi>d al-Bustamiy dalam konsep
fana>’ dan baqa>’”, dan masalah yang terdapat pada latar belakang di
atas, maka permasalahan pokok yang akan dijadikan kajian utama tergambar dalam
rumusan-rumusan sebagai berikut:
1.
Siapakah
sebenarnya sosok Abu> Yazi>d al-Bustamiy?
2.
Bagaimanakah
konsep fana>’ dan baqa>’ Abu> Yazi>d al-Bustamiy?
3.
Apakah
tujuan fana>’ dan baqa>’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT
HIDUP ABU< YAZI<D AL-BUSTAMIY
Abu>
Yazi>d al-Bustamiy, nama lengkapnya adalah Abu> Yazi>d bin
‘I<sa> bin Syurusan Bustamiy. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur.[1] Ia lahir sekitar tahun 200
H/ 814 M di Bustam, bagian timur laut Persia. Di bustam ini pun ia meninggal
pada tahun 261 H/ 875 M. dan makamnya masih ada hingga saat ini.[2] Kakeknya bernama Surusyan
yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah
seorang tokoh masyarakat di Bustam.[3]
Sebelum
Abu> Yazi>d mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab
Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat,
begitu juga tentang fana>’ dari Abu> ‘Ali> Sindi>.[4]
Abu>
Yazi>d adalah seorang zahid[5]
terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan
dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah swt. Hal tersebut berjalan melalui
tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat, dan zuhud
terhadap selain Allah swt. Dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi
mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah swt.
Abu>
Yazi>d merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan
ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak ditentang oleh
ulama fiqh dan ulama kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara.
Kata-kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam
sehingga jika ditangkap secara lahiriyah akan membawa kepada syirik, karena
mempersekutukan dengan manusia.
Dalam
sejarah perkembangan tasawuf, Abu> Yazi>d dipandang sebagai pembawa faham
fana>’ dan baqa>’ sekaligus pencetus faham ittih}a>d.[6] Dengan pencapaian fana>’
dan baqa>’ maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang
jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu>Yazid
mengaku dirinya Tuhan, padahal sesungguhnya ia tetap manusia yang mengalami
pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari
dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat
sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.”[7]
Selanjutnya
Abu> Yazi>d mengatakan:
لا اله الا انا
فاعبدنى [8]
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
سبحانى ، سبحانى ، ما
اعظم شأنى [9]
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”
Selanjutnya
diceritakan bahwa seorang lewat di rumah Abu> Yazi>d dan mengetok pintu.
Abu> Yazi>d bertanya: “Siapa yang engkau cari?” jawabannya: “Abu>
Yazi>d”. lalu Abu> Yazi>d berkata: “Pergilah, di rumah ini tidak ada
kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.[10]
Pada
lain kali Abu> Yazi>d berkata:
ليس فى الجبة الا
الله [11]
“Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah”
Namun,
perlu dicatat bahwa Abu> Yazi>d tidaklah mengatakan bahwa dirinya adalah
Tuhan. Hal ini Nampak ketika Ia mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup
melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang di
udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti
perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syariat.[12]
Dalam
perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis
syara`’. Selain itu, Abu> Yazi>d juga pernah berkata: “Aku tidak heran
terhadaap cintaku pada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran
terhadap cinta-Mu padaku, karena engkau adalah raja Yang Maha Kuasa. Aku tidak
inginkan dari Allah kecuali hanya Allah. Manusia dari dosa-dosa mereka, tetapi
aku tobat dari ucapanku. Tiada Tuhan selain Allah, karena dalam hati ini aku memakai
alat dan huruf, sedang Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf.[13]
Sekali
lagi jelaslah bahwa Abu> Yazi>d tidak mengatakan bahwa dirinya adalah
Tuhan.
B. KONSEP TASAWUF ABU< YAZI<D AL-BUSTAMIY
Sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Abu> Yazi>d adalah seorang yang
pertama kali memunculkan faham fana>’ dan baqa>’ serta
pencetus faham ittih}a>d. Namun, pada pembahasan kali ini penulis
hanya akan membahas tentang fana>’ dan baqa>’.
Secara harfiah fana>`
berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut
biasanya digunakan dengan proposisi: fana’an yang artinya kosong dari
segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[14]
Sedangkan dari segi
bahasa kata fana>` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna
yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur.[15] Sedang dalam kamus
Al-Munawwir, kata ini berarti rusak, binasa dan musnah.[16] Perlu digarisbawahi bahwa
fana>’ berbeda dengan fasad (rusak). Fana>’
artinya tidak tampaknya sesuatu
sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada yang lain. Dalam hubungan ini
Ibnu Sina ketika membedakan antara benda-benda yang sifatnya samawiyah dan
benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar
permulaanya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang
lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana>’, bukan
dengan cara rusak.[17]
Dalam istilah
tasawuf, fana>’ adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang
luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/ 988 M) mendefinisikannya
“Hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat
memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu”.[18]
Adapun arti fana>’
menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri
atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana>’
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat
pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela.[19] Selain itu Mustafa Zuhri
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana>’ adalah lenyapnya indrawi
atau ke-basyariah-an, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan
hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi
melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana>’ dari
alam cipta atau dari alam makhluk.[20]
i
Dalam menjelaskan
pengertian fana>’, al-Qusyairi menulis, “Fana>’-nya seseorang
dari dirinya dan
dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya
tetap ada, demikian
pula makhluk lain, tetapi ia tak
sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang
dirinya dan makhluk lain
lenyap dan pergi
ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittih}a>d.”[21]
Dengan demikian
fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah
mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya
hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang
sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan
dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan
tuhan.
Adapun baqa>’
berasal dari kata baqiya yang berarti al-dawa>m (tetap, kekekalan dan
keabadian).[22] Sedangkan
dalam kamus al-Munawwir, kata baqiya berarti tetap, tinggal dan kekal.[23] Dalam kamus al-Kautsar, baqa>’
berarti tetap, tinggal, kekal.[24] Bisa juga berarti
memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Baqa>’ adalah
kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena
lenyapnya (fana>’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal
adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam tasawuf, fana>’ dan baqa>’
datang beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila
nampaklah nur ke-baqa>’-an, maka fana>’-lah yang tiada, dan
baqa>-lah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana>` dari dirinya
dan baqa`> dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.[25]
Dengan demikian,
dapatlah difahami bahwa yang dimaksud dengan fana>’ adalah lenyapnya
sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan
maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa>’ adalah kekalnya
sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan
diri dari dosa dan maksiat.
Pencapaian Abu>
Yazi>d ke tahap fana>’ dicapai setelah meniggalkan segala
keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah
menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka,
diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku,
“karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan
melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…” Jalan menuju fana>’
menurut Abu> Yazi>d dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya,
“Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu
(nafsumu) dan kemarilah.”[26]
Abu> Yazi>d
sendiri pernah melontarkan kata fana>’ pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku
hingga aku fana>’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka aku pun
hidup.”
Selain itu,
Abu> Yazi>d pernah berkata: “Hai engkau. Aku dengan perantara-Nya
menjawab: Hai aku. Ia berkata ‘Engkaulah yang satu’. Aku menjawab akulah yang
satu. Selanjutnya ia berkata: Engkau adalah Engkau. Aku menjawab; ‘Aku adalah
Aku’. Di sini Abu> yazi>d menggunakan kata ‘Aku’ bukan sebagai gambaran
dirinya sendiri, tetapi gambaran tuhan, karena dia telah bersatu dengan Tuhan.
Dengan kata lain, Abu> Yazi>d dalam ittih}a>d berbicara dengan
nama Tuhan; atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu>
Yazi>d. Lebih nyata lagi dapat dilihat dari perkataan Abu> Yazi>d:
“Sesungguhnya Dialah yang berbicara melalui lidahku, sedang aku pada saat itu
dalam keadaan fana>’.[27] Jadi sebenarnya Abu>
Yazi>d tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata seperti itu bukan
diucapkan oleh Abu> Yazi>d sebagai kata-katanya sendiri, melainkan
kata-kata Tuhan yang diucapkannya dalam keadaan fana>’.
Di samping
ajaran di atas, terdapat pula ucapan-ucapan tentang hidup kerohanian lainnya,
yang menjadi perhatian dan pengagumnya, terutama di kalangan kaum sufi,
misalnya: “pertikaian para ulama adalah rahmat kecuali dalam ketauhidan.
Abu> Yazi>d pernah ditanya orang tentang pengertian sunnah dan Fardhu.
Ia menjawab: “Sunnah ialah meninggalkan dunia dengan segala isinya dan fardhu
ialah bersahabat dengan Allah swt.” Ketika Abu> Yazi>d ditanya tentang
umurnya, ia segera menjawab: “Empat tahun”. Si penanya dengan kaget kembali
bertanya: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” ia pun kemudian menjawab: “Aku
telah tertabiri dari Tuhan oleh dunia selama tujuh puluh tahun, dan saya baru
dapat melihatnya selama empat tahun terakhir ini.[28]
Tuhan begitu
berlimpah sehingga manusia menjadi tak berarti apa-apa, bahkan ketika
memikirkan asma-Nya atau mengucapkan kata Allah dengan kekaguman yang semestinya,
Abu> Yazi>d sampai tak sadarkan diri. Abu> Yazi>d pernah
mebgucapkan azan lalu pingsan. Ketika sadar kembali, dia berkata: “Menakjubkan
bahwa orang tidak mati ketika ia mengumandangkan azan.”[29]
Tampaknya
bagaimanapun ajaran yang dikemukakan Abu> Yazi>d, semuanya mengacu pada tema
pahamnya, yaitu ittih}a>d yang berawal dari paham fana>’. Cirri
yang mendominasi paham Abu> Yazi>d adalah sirnanya segala sesuatu selain
Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi, tidak lagi menyaksikan kecuali
hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan tidak lagi melihat dirinya sendiri karena
dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya.
C. TUJUAN FANA< DAN BAQA<’
Setelah mengetahui pengertian fana>‘
dan baqa>’, perlu diketahui tujuan fana>‘ dan baqa>’
adalah mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan
sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Fana>‘ merupakan
keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan
kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad
(penyatuan Rohani dengan Tuhan). Tatkala fana>‘ dan baqa>’ berjalan
selaras dan sesuai dengan fungsinya maka seorang Sufi merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan, suatu tingkatan yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.[30]
Tujuan sufi untuk merasakan fana>‘
dan baqa>’ bukanlah untuk mendapatkan pengalaman, atau melaksanakan
sesuatu yang tidak diatur oleh syariat, tetapi untuk mewujudkan ikhlas.[31] Sufi melewati pengalaman fana>’
dan baqa>’ sehingga ia dapat meniadakan atau menyangkal diri secara
utuh, dan hidup secara adil semata-mata demi keridhaan Ilahi. Makna mistik dari
fana>’ dan baqa>’ hanyalah cara, dengan kata lain adalah
untuk menghilangkan (kebanggaan) diri demi mematuhi perintah Ilahi, sebagaimana
yang disebut Sirhindi[32] sebagai fana>’
al-haqiqi, atau fana>’ yang nyata. Ia menulis: “fana>’” sejati
adalah melupakan segala sesuatu yang bukan-Ilahiah, meniadakan kecintaan akan
dunia, dan membersihkan hati dari segala pamrih dan keinginan, sebagaimana yang
dituntut (dan seharusnya dilaksanakan) seorang abdi. Dan baqa sejati adalah
melaksakan kehendak Tuhan, dan menjadikan kehendak-Nya sebagai kehendak dirinya
tanpa harus kehilangan akan identitas dirinya (sebagai hamba).[33]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan
makalah tersebut di atas, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Abu> Yazi>d merupakan
seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran
tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak ditentang oleh ulama fiqh dan
ulama kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Kata-kata yang
diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam sehingga jika
ditangkap secara lahiriyah akan membawa kepada syirik.
2.
Konsep tasawuf yang dikembangkan
oleh Abu> Yazi>d adalah fana>’ dan baqa>’ serta ittih}a>d.
Fana>’ adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela
kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa>’
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan ittih}a>d adalah
menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, unt
3.
zuk mencapai hal tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang
maksimal seperti taubat, zikir ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang
terpuji.
4.
Meskipun secara redaksional
kata-kata Abu> Yazi>d seakan mengatakan dirinya Tuhan, tetapi
sesungguhnya ia tidaklah bermaksud demikian karena di kali lain ia pun mengakui
keberadaan Tuhan. Kata-kata tersebut diucapkan tidak lain hanyalah ungkapan
cinta kepada Tuhan atau sebuah proses ittih}a>d setelah melalui fana>’.
5.
Tujuan sufi untuk merasakan fana>‘
dan baqa>’ bukanlah untuk mendapatkan pengalaman, atau melaksanakan
sesuatu yang tidak diatur oleh syariat, tetapi untuk mewujudkan ikhlas. Sufi
melewati pengalaman fana>’ dan baqa>’ sehingga ia dapat meniadakan
atau menyangkal diri secara utuh, dan hidup secara adil semata-mata demi
keridhaan Ilahi.
B. IMPLIKASI
Sebagai manusia biasa yang tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan
kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca
guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah
lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari standar kesempurnaan
layaknya sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak
yang berusaha meneliti kembali—paling tidak memeriksa referensi yang
digunakan—makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Demikianlah apa yang mampu penulis
tuangkan dalam makalah ini yang merupakan bentuk kerja keras penulis dalam
mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana kuantitas penafsiran
Rasulullah saw. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca
sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah swt. Min
Alla>h al-Musta’a>n wa Ilaihi al-Tikla>n.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. Haqa>’iq
at-Tashawwuf, terj. oleh Taufik Damas, Hakekat Tasawuf Cet: 12; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010.
Ansari, Muhammad Abdul Haq. Merajut Tradisi
Syari`ah dengan Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syaikh Ahmad Sirhindi Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta;
1997.
Anwar, Rosihan. dan Mukhtar Solihin, Ilmu
Tasawuf, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Fathurrahman, Oman. Tanbih
al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17,
Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999.
Al-Habsyi, Husin. Kamus
al-Kautsar: Arab – Indonesia, Surabaya: Darussagaf P.P. Alawy, 1997.
Hamka, Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya Cet. XI; Jakarta:
Pustak Panjimas, 1984.
Ibnu Zakariyya>, Abu>
al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I Beirut:
Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M.
Mah}mud, Abd al-Qadir. Al-Falsafah
Al-Sufiyah Al-Islami, Cairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, t.t.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir:
Kamus Arab-Indonesia Terlengkap ditelaah oleh KH. Ali Ma‘shum dan KH.
Zainal Abidin Cet. XIV; Jakarta: 1997.
Al-Naisa>bu>riy,
Al-Qusyairiy. al-Risa>lah al-Qusyairiy Mesir: Da>r al-Khair, t.t.
Nata, Abuddin. Akhlak
Tasawuf Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Shaliba, Jamil. Mu‘jam
al-Falsafiy Juz II Beirut: Da>r al-Kitab, 1979.
Zahri, Mustafa. Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf Cet. I;
Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
[1]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 235.
[2]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf
(Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 295. Perlu dicatat
bahwa penulisan namanya terdapat beberapa macam, ada yang menulisnya dengan
al-Bustami, al-Bistomi, al-Bustomi, dan al-Bastomi serta sering pula dengan
Bayazid.
[3]Rosihan Anwar, dan Mukhtar
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 8
[4]Asmaran As, op. cit. hal. 296.
[5]Zahid adalah
seseorang mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan semua keindahannya,
serta mengisinya dengan cinta kepada Allah dan Makrifat kepada-Nya. Lihat
Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Haqa>’iq at-Tashawwuf, terj. oleh Taufik
Damas, Hakekat Tasawuf (Cet: 12; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010) Hal.
240.
[6]Asmaran As, op. cit. hal. 296.
[7]Abuddin Nata, op. cit. hal. 236.
[11]Abuddin Nata, op. cit. hal. 237.
[12]Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya
(Cet. XI; Jakarta: Pustak Panjimas,
1984), hal. 102.
[14]Muhammad Abdul Haq Ansari, Merajut
Tradisi Syari`ah dengan Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syaikh Ahmad
Sirhindi (Cet. I; PT. Raja Grafindo
Persada; Jakarta; 1997), hal. 47.
[15]Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab
– Indonesia), (Surabaya: Darussagaf P.P. Alawy, 1997), hal. 362.
[16]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap ditelaah oleh KH. Ali Ma‘shum dan KH. Zainal
Abidin (Cet. XIV; Jakarta: 1997), hal. 600-601.
[17]Abuddin Nata, op. cit. hal. 231. Yang
dikutip dari Jamil Shaliba, Mu‘jam al-Falsafiy Juz II (Beirut: Da>r
al-Kitab, 1979), hal. 167.
[18]Rosihan Anwar, dan Mukhtar
Solihin, op. cit. hal. 130.
[19]Jamil Shaliba, loc. cit. hal. 167.
[20]Abuddin Nata, op. cit. hal. 231. Yang
dikutip dari Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hal. 234.
[21]Al-Qusyairiy al-Naisa>bu>riy, al-Risa>lah
al-Qusyairiy (Mesir: Da>r al-Khair, t.t.), hal.3030.
[22]Abu> al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris bin
Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), hal. 259.
[23]Ahmad Warson Munawwir, op. cit. hal.
101.
[24]Husin al-Habsyi, op. cit.
hal. 26.
[25]Abuddin Nata, op. cit. hal. 232-233.
[26]Asmaran As, op. cit. hal. 299.
[27]Abd al-Qadir Mah}mud, Al-Falsafah Al-Sufiyah
Al-Islami, (Cairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, t.t.), hal. 310.
[28]Asmaran As, op. cit. hal. 302.
[30]Abuddin Nata, op. cit. hal. 234-235.
[31]Sirhindi, Maktubat, Vol. I: hal. 589.
[32]Imam
Rabbani mujaddid Alf-Sani Syaikh Ahmad Farooqi Sarhindi. Imam Rabbani (semoga
Allah kasihanilah dia) lahir hari Jumat malam di 97 AH di Sirhind, sebuah kota
di provinsi Punjab, India. Dia menanggung nama Syaikh Ahmad sambil mujaddid
Alf-Sani adalah sebutan nya. Dengan keturunan, ia berkaitan dengan Hazrat Umar
Farooq (Semoga Allah diberkati dengan dia). Dia adalah seorang sarjana Islam
India dari Punjab dan seorang anggota terkemuka dari Tarekat Sufi Naqsybandi.
Dia digambarkan sebagai mujaddid Alf Thani, yang berarti "minuman keras
dari milenium kedua", untuk karyanya dalam meremajakan Islam.
[33]Ibid. Vol. I: hal. 1172-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar